Endometriosis bukan hanya penyakit fisik. Di balik nyeri panggul kronis, menstruasi yang menyakitkan, dan tantangan kehamilan, ada luka yang tak kalah berat ini berkaitan dengan identitas diri, tekanan emosional, dan perasaan terasing dalam hubungan sosial.
Sebuah penelitian berkaitan dengan “endometriosis” mengungkap hal yang sering terabaikan bagaimana penyakit ini mengubah cara perempuan memandang dirinya sendiri dan menjalani hidup sehari-hari di tengah ekspektasi sosial untuk selalu ‘kuat’ dan tetap memenuhi peran sebagai perempuan yang ‘baik’.
Mempertanyakan Identitas Diri
Banyak perempuan menggambarkan hidup dengan endometriosis sebagai pengalaman yang menggerus identitas pribadi. Mengapa seperti itu? bagaimana tidak jika setiap hari aktivitas harian terganggu, peran sosial berubah, dan tubuh sendiri terasa seperti musuh. Hal ini yang kemudian membuat mereka merasa terpisah dari versi diri mereka yang “normal”, seolah kehilangan jati diri karena terus-menerus bergulat dengan rasa sakit dan kelelahan.
Sedihnya ketika respons dari orang sekitar termasuk tenaga medis sering kali memicu perasaan tidak valid, bahkan seakan-akan mereka “bermasalah” secara mental. Para perempuan bercerita pernah merasa seperti “akan menjadi gila” karena keluhan mereka dianggap sepele atau dicurigai bersumber dari psikologis, bukan kondisi medis yang nyata.
Tak Ingin Jadi Beban: Memilih Diam
Dilain sisi ada perasaan menjadi beban bagi pasangan, keluarga, atau teman-teman yang muncul berulang. Alih-alih terus menjelaskan dan ditolak pemahamannya, banyak perempuan memilih menyembunyikan rasa sakit mereka. Strategi ini disebut self-silencing diam untuk menjaga hubungan, meski mengorbankan kesejahteraan pribadi.
Banyak perempuan mengaku bahwa prioritas mereka dalam pengobatan adalah mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, di mata tenaga kesehatan, prioritas seringkali diarahkan pada dua hal: fungsi seksual dan kehamilan. Ketika fokus terus diarahkan ke kesuburan, perempuan yang belum atau tidak bisa hamil merasa gagal sebagai perempuan, bahkan kehilangan makna identitas kewanitaannya.
Realitas Sosial yang Memperparah
Di masyarakat, perempuan sering dituntut untuk tetap “kuat”, tetap merawat, tetap tersenyum, meskipun dalam kondisi tidak baik. Ketika endometriosis menyerang, ekspektasi ini bisa menjadi tekanan tambahan. Menjadi perempuan sakit berarti harus menderita secara diam-diam tidak mengeluh terlalu keras agar tidak dianggap lemah, histeris, atau “bermasalah”.
Praktik self-silencing ini pada faktanya berdampak buruk bagi kesehatan mental dan kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri. Perempuan yang terus menyembunyikan rasa sakitnya berisiko mengalami depresi, kehilangan jati diri, dan semakin menjauh dari perawatan yang sebenarnya mereka butuhkan.
Dampak psikologis dari endometriosis tidak bisa dianggap remeh. Identitas diri yang terganggu, relasi yang renggang, dan beban emosional yang berat bisa membuat penderita endometriosis mengalami tekanan yang lebih besar dibanding kondisi kronis lainnya. Sayangnya, aspek ini masih kurang diperhatikan dalam layanan kesehatan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Validasi pengalaman mereka. Jangan langsung menyepelekan keluhan atau memberi nasihat kosong.
- Ubah cara pandang medis dan sosial: Fokus bukan hanya pada rahim dan reproduksi, tapi pada kualitas hidup dan kesehatan mental secara menyeluruh.
- Dorong ruang aman untuk bersuara. Baik di rumah, tempat kerja, atau pelayanan kesehatan.
Endometriosis adalah kondisi fisik dan emosional. Memahami sisi emosionalnya bukan berarti melebih-lebihkan tapi justru langkah penting menuju empati, perawatan yang tepat, dan pemulihan yang lebih holistik. Apakah dari sister ada yang juga mengalami hal tersebut? yuk jadi bagian yang paham dan berempati! informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Cole, J. M., Grogan, S., & Turley, E. (2021). “The most lonely condition I can imagine”: Psychosocial impacts of endometriosis on women’s identity. Feminism & Psychology, 31(2), 171-191.