
Endometriosis selama ini dikenal sebagai kondisi di mana jaringan endometrium tumbuh di luar rahim. Tapi ternyata, masalahnya tidak berhenti di situ. Studi terbaru menunjukkan bahwa sistem imun juga punya andil besar dalam mengganggu kesuburan perempuan dengan endometriosis.
Sebuah tinjauan komprehensif yang dipublikasikan oleh Kamila Kolanska dkk. (2020) dalam American Journal of Reproductive Immunology mengupas lebih dalam peran deregulasinya sistem imun dan potensi terapi imunomodulasi pada infertilitas akibat endometriosis.
Ketika Sistem Imun Tidak Lagi Seimbang
Endometriosis bukan hanya masalah hormonal atau anatomi tetapi juga imunologis. Dalam tubuh perempuan dengan endometriosis, ditemukan kadar sitokin pro-inflamasi yang lebih tinggi, terutama TNF-α (Tumor Necrosis Factor-alpha). Sitokin ini adalah molekul kecil yang berperan dalam mengatur peradangan.
Kelebihan TNF-α dan mediator inflamasi lainnya dapat:
- Mengganggu proses ovulasi dan pematangan sel telur,
- Menghambat perlekatan embrio di rahim, dan
- Meningkatkan risiko kegagalan implantasi pada program bayi tabung (IVF).
Selain itu, ditemukan pula berbagai autoantibodi seperti antinuclear antibody (ANA), anti-SSA, dan antiphospholipid antibody bahkan pada pasien yang tidak memiliki penyakit autoimun. Ini menunjukkan adanya reaksi autoimun tersembunyi yang dapat mengganggu fungsi reproduksi.
Terapi Imunomodulasi: Harapan Baru, Tapi Masih Butuh Bukti
Beberapa studi kecil menunjukkan hasil menjanjikan. Penggunaan steroid dan TNF-α antagonis seperti infliximab, adalimumab, atau etanercept sempat dilaporkan dapat meningkatkan angka kehamilan pada pasien endometriosis yang mengalami infertilitas.
Namun, sebagian besar penelitian tersebut masih bersifat uncontrolled dan melibatkan jumlah sampel yang terbatas. Artinya, belum cukup kuat untuk menjadi dasar rekomendasi klinis.
Selain itu, terapi lain seperti intralipid infusion, intravenous immunoglobulin (IVIG), dan G-CSF (Granulocyte-Colony Stimulating Factor) juga mulai diteliti, tapi hasilnya masih bervariasi.
Penelitian ini menegaskan bahwa infertilitas akibat endometriosis tidak bisa hanya dilihat dari sisi hormonal atau anatomi, melainkan juga dari sisi imunologis. Deregulasi sistem imun mulai dari peningkatan sitokin pro-inflamasi hingga munculnya autoantibodi berkontribusi besar terhadap gangguan kesuburan.
Meski terapi imunomodulasi menawarkan harapan baru, bukti ilmiah yang kuat masih sangat dibutuhkan. Studi berskala besar dan terkontrol akan menjadi langkah penting untuk menentukan sejauh mana terapi ini bisa benar-benar membantu perempuan dengan endometriosis meraih kehamilan. Untuk informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi:
Kolanska, K., Alijotas-Reig, J., Cohen, J., Cheloufi, M., Selleret, L., d’Argent, E., Kayem, G., Valverde, E. E., Fain, O., Bornes, M., et al. (2020). Endometriosis with infertility: A comprehensive review on the role of immune deregulation and immunomodulation therapy. American Journal of Reproductive Immunology. https://doi.org/10.1111/aji.13384