
Infertilitas bukan hanya soal tubuh yang sulit hamil. Bagi banyak wanita, diagnosis infertilitas adalah awal dari roller coaster emosional disana berisikan harapan, kegagalan, terapi hormon, hingga metode seperti IVF yang menguras tenaga, emosi, dan isi dompet. Pada artikel kali ini MDG akan membahas lebih detail bagaimana dampak IVF pada psikologis.
IVF dan Mental Health
Meski IVF kerap membawa harapan, realitanya tak selalu indah. Banyak dari wanita yang menjalani prosedur ini mengalami tekanan psikologis berat kecemasan, ketakutan, depresi, dan bahkan relasi yang terganggu. Bahkan dalam sebuah studi menunjukkan 76% wanita infertil melaporkan gejala kecemasan nyata saat berkunjung ke klinik fertilitas. Kecemasan menjadi reaksi pertama yang paling umum muncul, bahkan sebelum prosedur dimulai.
Tidak berhenti di sana, tekanan mental ini kerap menjalar ke kehidupan seksual pasangan. Penurunan gairah, nyeri saat berhubungan, hingga sulit orgasme. Tentu saja ini memengaruhi kepuasan seksual dan sayangnya, malah bisa memperburuk kondisi infertilitas itu sendiri. Pertanyaannya, apakah cukup hanya mengandalkan prosedur medis? Jawabannya tidak selalu.
Bagaimana Kata Psikologis?
Berbagai intervensi psikologis kini digunakan untuk membantu pasangan infertil, seperti terapi psikoanalitik, konseling berbasis kesadaran, hingga pendekatan kolaboratif. Namun, sebagian besar metode ini masih bersifat terbatas dan belum menyentuh akar kebutuhan emosional pasien secara menyeluruh.
Karena itu, pendekatan pemberdayaan psikologis mulai dilirik sebagai alternatif yang lebih luas dan mendalam. Pemberdayaan psikologis bukan sekadar semangat-positif-bersama-motivasi”, tapi sebuah pendekatan ilmiah yang telah dikembangkan dan divalidasi. Dalam paket pemberdayaan yang dirancang oleh Bahrami Kerchi dan timnya (2019), wanita infertil diberikan teknik khusus untuk membangun kepercayaan diri, mengelola kecemasan, dan menghadapi tekanan sosial maupun seksual yang timbul akibat infertilitas. Hasilnya? Signifikan Studi-studi menunjukkan pemberdayaan ini berhasil mengurangi stres dan depresi.
Selain pemberdayaan psikologis, Terapi Perilaku Dialektis (Dialectical Behavior Therapy / DBT) juga mulai dilirik dalam konteks infertilitas. DBT menggabungkan strategi perilaku kognitif dengan prinsip-prinsip mindfulness. Awalnya dikembangkan untuk gangguan borderline personality, kini pendekatan ini terbukti menjanjikan untuk gangguan kecemasan, depresi, bahkan trauma.
Infertilitas tidak bisa hanya ditangani dari sisi fisik. Perlu pendekatan yang lebih menyeluruh yang menyentuh sisi emosional, sosial, dan psikologis wanita.
Jika sister atau orang terdekatmu sedang berjuang dalam proses ini, ingatlah bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan reproduksi. Dan kabar baiknya, sekarang sudah ada pendekatan yang secara ilmiah terbukti mampu membantu. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Kerchi, A. B., Manshaee, G., & Keshtiaray, N. (2021). The Effect of the Psychological Empowerment and Dialectical Behavior Therapy on Infertile Women’s Anxiety and Sexual Satisfaction in Pretreatment Phase of In Vitro Fertilization. Journal of Midwifery & Reproductive Health, 9(3).