Ketika “The value of motherhood” Jadi Ukuran: Infertilitas dan Luka yang Tak Terlihat

 

 

Sister dan paksu yang sudah menikah terutama bagi sister sering dihadapkan dengan realitas “Menjadi ibu seringkali dipandang sebagai puncak pencapaian seorang perempuan”. Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, keibuan bukan hanya pilihan tapi harapan, norma, bahkan identitas. Karena itu, ketika diagnosis infertilitas datang, luka yang timbul tak hanya di tubuh, tetapi juga di hati dan pikiran. Jadi jelas bahwa pejuang dua garis bukanlah hal yang mudah.

Infertilitas dan Value Motherhood

Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk hamil setelah 12 bulan berhubungan tanpa kontrasepsi, atau 6 bulan jika usia perempuan sudah di atas 35 tahun. Infertilitas memiliki banyak dampak karena tidak hanya bergantung pada keberhasilan pengobatan tapi juga pada kesiapan mental dan sosial pasien.

Banyak perempuan yang menginternalisasi peran ibu sebagai tujuan hidup. Ketika harapan ini tidak tercapai, muncul perasaan gagal, malu, cemas, bahkan depresi. Sebuah riset menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami infertilitas cenderung memiliki tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan pasangan mereka.

Perasaan tak cukup sebagai perempuan, stigma dari lingkungan, hingga tekanan untuk selalu tersenyum dan “tetap kuat” bisa membuat mereka menarik diri. Tak sedikit yang menyembunyikan diagnosis mereka karena takut dianggap tidak sempurna.

Strategi Bertahan: Dari Agama hingga Menyendiri

Untuk bertahan secara mental, perempuan menggunakan berbagai strategi coping. Sebuah upaya kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengelola tekanan, stres, atau tuntutan yang dirasa melebihi kapasitasnya. Strategi ini membantu individu beradaptasi dengan situasi sulit, baik dengan mengatasi penyebab stres maupun mengatur respons emosional terhadap stres tersebut.

Beberapa memilih menghadapi masalah dengan aktif berbicara, mencari solusi, mencari dukungan. Namun ada juga yang memilih diam, menyangkal, menarik diri dari pergaulan sosial. Strategi pasif ini justru lebih sering dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi.

Dalam budaya religius, banyak perempuan yang mengandalkan coping spiritual. Ada yang menemukan ketenangan melalui keyakinan bahwa Tuhan punya rencana, tapi ada juga yang justru merasa dihukum atau tidak layak. Dan ini semua sangatlah wajar tapi setidaknya segala usaha sudah dilakukan. 

Karena Jadi Ibu Masih Dianggap “Wajib”

Di masyarakat yang pronatalis, perempuan tanpa anak kerap dinilai tidak lengkap. Mereka dicap egois, tidak bertanggung jawab, atau terlalu mementingkan diri sendiri. Bahkan ketika infertilitas bukan pilihan, tekanan sosial tetap membekas. Tak jarang, perempuan merasa gagal memenuhi “takdir biologisnya”. Padahal, menjadi ibu bukan satu-satunya ukuran kebermaknaan hidup.

Infertilitas bukan hanya masalah rahim, tetapi juga tentang bagaimana perempuan dipaksa membuktikan diri melalui keibuan. Maka, penting bagi kita semua untuk mengubah cara pandang terhadap peran perempuan. Bahwa mereka tetap utuh, meski tanpa status “ibu”.

Yang dibutuhkan perempuan infertil bukan hanya dokter dan teknologi. Tapi juga empati, ruang aman untuk bercerita, dan masyarakat yang berhenti menjadikan anak sebagai satu-satunya validasi hidup perempuan. Kami MDG selalu ingin berbagi dan mendengarkan sister dan hadir sebagai ruang aman. Semoga usaha kalian dimudahkan dan diberikan ruang untuk dapat berbahagia. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi

  • Foti, F. L., Karner-Huţuleac, A., & Maftei, A. (2023). The value of motherhood and psychological distress among infertile women: The mediating role of coping strategies. Frontiers in Public Health, 11, 1024438.