
Selama bertahun-tahun, pemahaman tentang kesuburan perempuan banyak bertumpu pada pengamatan langsung terhadap interaksi sperma dan sistem reproduksi perempuan. Salah satu metode klasik yang pernah populer adalah post-coital test (PCT)—sebuah prosedur yang dianggap mampu “mendeteksi kecocokan biologis” antara pasangan. Namun, kini, dunia medis beralih ke arah yang lebih dalam dan mikro: studi tentang mikrobiota reproduksi. Wah seperti apa ini? yuk pahami lebih lanjut sister!
Metode Lama: Post-Coital Test dan Logika Mekanis
Pada masa sebelum tahun 2000-an, PCT sering dijadikan alat untuk menilai apakah lendir serviks mendukung pergerakan sperma. Pemeriksaan dilakukan beberapa jam setelah hubungan seksual; lendir diambil dari serviks lalu diamati di bawah mikroskop. Sperma yang aktif menandakan kondisi yang “subur”.
Namun, seiring berkembangnya bukti ilmiah, keandalan PCT mulai dipertanyakan. Beberapa kelemahannya antara lain:
- Hasil yang tidak konsisten dan sangat operator-dependent, karena bergantung pada teknik pengambilan serta waktu pemeriksaan.
- Kurang mencerminkan kondisi fisiologis sebenarnya, sebab hanya menggambarkan interaksi sesaat, bukan kualitas lingkungan reproduksi secara keseluruhan.
- Tidak memiliki nilai prediktif yang kuat terhadap keberhasilan kehamilan alami maupun IVF.
Akhirnya, banyak panduan klinis (termasuk dari NICE dan ASRM) merekomendasikan untuk tidak lagi menggunakan PCT dalam evaluasi infertilitas.
Pergeseran Paradigma: Dari Mekanistik ke Ekologis
Jika paradigma lama menilai kesuburan secara mekanistik—apakah sperma bisa “menembus” lendir—maka paradigma baru memandang sistem reproduksi sebagai ekosistem biologis yang kompleks. Karena tubuh perempuan tidak lagi dilihat sebagai “ruang pasif” tempat sperma berjuang, melainkan sebagai lingkungan aktif yang memiliki keseimbangan biologis sendiri.
Keseimbangan ini salah satunya diatur oleh mikrobiota vagina dan endometrium, yaitu komunitas mikroorganisme yang hidup secara simbiotik.
Pendekatan Baru: Mikrobiota dan Keseimbangan Reproduksi
Penelitian dekade terakhir menemukan bahwa dominasi bakteri Lactobacillus di vagina berperan penting dalam menjaga pH optimal (sekitar 3,8–4,5) serta mencegah kolonisasi patogen. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sperma maupun implantasi embrio.
Sebaliknya, jika terjadi dysbiosis yakni ketidakseimbangan mikrobiota maka risiko terjadinya infertilitas, implantation failure, bahkan keguguran berulang meningkat.
Sebuah riset oleh Moreno dkk. (2016) menunjukkan bahwa endometrium dengan komposisi non-Lactobacillus-dominated memiliki tingkat keberhasilan implantasi yang jauh lebih rendah dibanding yang seimbang.
Menuju Era Diagnostik Reproduksi Presisi
Pendekatan mikrobiota membawa arah baru dalam evaluasi kesuburan: dari sekadar menilai fungsi mekanik menjadi memahami ekologi tubuh. Di masa depan, profil mikrobiota mungkin akan menjadi bagian rutin dari pemeriksaan infertilitas, berdampingan dengan analisis hormonal dan genetik.
Dengan memahami bahwa kesuburan bukan hanya soal “bertemunya sperma dan sel telur”, tetapi juga tentang lingkungan mikro yang sehat dan seimbang, kita sedang melangkah menuju pendekatan yang lebih personal, presisi, dan manusiawi. Bagaimana menarik bukan? sister jadi banyak mendapatkan harapan dari semua kemajuan ini. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Vitale, S. G., Ferrari, F., Ciebiera, M., Zgliczyńska, M., Rapisarda, A. M. C., Vecchio, G. M., … & Cianci, S. (2021). The role of genital tract microbiome in fertility: a systematic review. International journal of molecular sciences, 23(1), 180.