Mengungkap Dampak Stigma dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi

 

Kesehatan seksual dan reproduksi seringkali menjadi topik yang sulit dibicarakan secara terbuka. Sister dan paksu pasti merasakan hal tersebut, hal ini berkaitan dengan berbagai norma sosial, budaya, dan agama membentuk tabu dan akhirnya membungkam diskusi mengenai aspek penting dari kesehatan ini. 

MDG bertujuan untuk mengeksplorasi secara komprehensif lanskap tabu dalam kesehatan seksual dan reproduksi serta dampaknya terhadap individu, komunitas, dan kebijakan kesehatan masyarakat, baca sampai habis ya!

Tabu dalam Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Tabu dalam kesehatan seksual dan reproduksi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari stigma seputar menstruasi, kontrasepsi, kesuburan, hingga orientasi seksual dan identitas gender. Masyarakat seringkali menganggap topik-topik ini sebagai hal yang sensitif atau bahkan terlarang untuk dibahas secara terbuka. Akibatnya, banyak dari kita yang mengalami kesulitan dalam mengakses informasi dan layanan kesehatan yang dibutuhkan.

Dalam satu dekade terakhir, berbagai penelitian telah menyoroti bagaimana tabu-tabu ini berakar secara historis dan berevolusi di berbagai budaya. Di beberapa komunitas, menstruasi masih dianggap sebagai sesuatu yang “kotor”, sehingga membatasi partisipasi perempuan dalam kegiatan sosial tertentu. Kontrasepsi juga sering kali diselimuti misinformasi, membuat banyak orang ragu atau takut menggunakannya. Hal itu yang menghambat akses layanan kesehatan juga informasi yang kredibel pada masyarakatw.

Dampak Tabu terhadap Kesehatan Masyarakat

Keadaan tersebut dalam kesehatan seksual dan reproduksi memiliki implikasi luas terhadap kesehatan masyarakat. Kesenjangan dalam akses layanan kesehatan menjadi salah satu dampak utama. Ketika individu merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, mereka cenderung mengabaikan masalah kesehatan yang dapat dicegah atau diobati lebih dini. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan pribadi tetapi juga memperburuk ketimpangan dalam sistem kesehatan.

Selain itu, tabu juga berkontribusi pada penyebaran misinformasi. Kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif di banyak negara membuat banyak remaja dan dewasa muda tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Tanpa informasi yang benar, mereka lebih rentan terhadap risiko kehamilan yang tidak direncanakan, infeksi menular seksual, dan dampak psikologis akibat diskriminasi atau stigma. Hal ini pada masa yang akan datang juga turut berpengaruh pada kurangnya pemahaman tentang infertilitas. 

Membuka Dialog dan Mendorong Perubahan

Untuk mengatasi tabu dalam kesehatan seksual dan reproduksi, diperlukan pergeseran paradigma menuju dialog yang lebih terbuka, inklusif, dan berbasis fakta. Pendidikan seksual yang komprehensif harus diperkenalkan sejak dini agar individu memiliki pemahaman yang tepat mengenai tubuh mereka dan hak-hak kesehatan mereka. Selain itu, kebijakan publik harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia, memastikan bahwa semua orang memiliki akses yang setara terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi tanpa diskriminasi.

Pada akhirnya, “Percakapan Terlarang” bukan hanya tentang mengungkap tabu, tetapi juga tentang mendorong perubahan nyata menuju layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih terbuka, tidak bias, dan komprehensif bagi semua orang. Di Indonesia sendiri kesehatan reproduksi diatur di peraturan pemerintah Nomor 61 tahun 2014 yang mengatur tentang kesehatan reproduksi dan peraturan pemerintah (PP) 28/2024 berfokus pada kesehatan reproduksi remaja. Untuk informasi menarik lainnya sister dan paksu dapat follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi