
Di Indonesia, akses mengenai isu reproduksi seringkali terjebak dalam jaring mitos dan kesalahpahaman. Bahkan tak jarang jika orang yang ada di sekitar sister dan paksu ketika membicarakan kesehatan reproduksi apalagi seksualitas masih dianggap tabu, memalukan, dan bahkan menjijikan. Hal ini tentu berimbas pada banyak dari masyarakat terutama perempuan tidak tahu bagaimana menjaga kesehatan organ reproduksinya dan bagaimana berdialog dengan pasangannya agar mendapatkan kehidupan seksualitas yang sehat, nyaman, dan berkualitas.
Meskipun ada kemajuan dalam penyediaan layanan kesehatan reproduksi, realitas yang dihadapi banyak individu masih jauh dari ideal. Kira-kira apa sih yang membuat ini diberdayakan, MDG kali ini akan membahas terkait mitos seputar akses reproduksi di Indonesia juga membantu mengidentifikasi kesulitan-kesulitan nyata yang sering kali menghambat akses reproduksi. Yuk cek penjelasan detailnya!
Apa benar semua orang sudah memiliki akses yang sama?
Bagi Sebagian orang mungkin percaya bahwa program pemerintah dan layanan kesehatan reproduksi sudah merata dan dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat. Tapi yang perlu sister tau bahwa faktanya, jika melihat data dari Transmigrasi (Kemendes PDTT) RI sebanyak 2,9 juta jiwa lebih masyarakat pedesaan belum terakses oleh pelayanan Kesehatan. Bahkan untuk jumlah dokter di Maluku dan Papua 1 Dokter melayani 4000 Orang.
Fakta tersebut menunjukkan adanya kesenjangan signifikan perihal akses antara daerah urban dan pedesaan, serta antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Hal Ini membuat banyak orang, terutama perempuan di daerah pedesaan, kesulitan untuk mendapatkan layanan yang mereka butuhkan.
Sedihnya selain akses yang tidak merata, mereka juga kurang mendapatkan akses informasi yang akurat dan komprehensif, padahal kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi dapat menyebabkan kesalahan pemahaman dan berdampak pada keputusan yang tidak tepat. Selain permasalahan akses mereka juga kerap dihadapkan dengan stigma sosial bahkan budaya yang sudah dijadikan tradisi turun menurun.
Pengaruh Stigma Sosial dan Budaya
Persepsi masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh norma dan nilai tradisional yang sering kali membatasi pembicaraan tentang kesehatan reproduksi. Stigma terkait penggunaan kontrasepsi, seksualitas, dan masalah kesehatan reproduksi lainnya sering kali membuat individu enggan mencari bantuan atau informasi yang mereka perlukan.
Contoh dari pengalaman reproduksi yang banyak mendapatkan stigma sosial adalah menstruasi, diperlihatkan bagaimana masyarakat Beng di Pantai Gading yang secara tegas ditekankan bahwa menstruasi dikaitkan dengan polusi dan fertilitas. Hal ini mengakibatkan larangan bagi perempuan untuk masuk ke hutan, tidak boleh memasak karena dianggap kotor, dan tidak boleh melakukan aktivitas pertanian (Gottlieb, 1982).
Cara menstruasi dipersoalkan sesungguhnya memperlihatkan adanya suatu pemaksaan dari suatu realitas bahasa yang dalam bahasa Foucault merupakan fakta diskursif yang menyangkut the way in which sex is put into discourse (Foucault, 1990: 11)
Tentu hal ini tidak dapat lepas dari bagaimana sosial dikonstruksi dan menciptakan standar ganda yang dikemudian hari berdampak pada pengabaian realitas. Realitas selanjutnya yang sister dan sekitar rasakan bagaimana sulitnya membicarakan reproduksi baik antar pasangan, teman dan keluarga. Melalui realitas tersebut tentu diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi. Pertama dapat melalui pendidikan yang lebih baik, peningkatan aksesibilitas layanan, dan penghapusan stigma sosial.
Dengan memahami dan mengatasi kendala-kendala ini, diharapkan akses ke pelayanan kesehatan reproduksi dapat diperbaiki, sehingga lebih banyak orang dapat mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk kesejahteraan reproduksi mereka. MDG hadir di antara sister dan paksu salah satunya adalah untuk terus menerus menggaungkan pentingnya pengetahuan ini. Untuk itu mari bersinergi dan terus menyebarkan kebaikan dan membantu sekitar agar turut paham akan isu reproduksi. Untuk informasi menarik lainnya jangan lupa follow ig @menujuduagaris.id.
Referensi
Gottlieb, Alma, 1982. “Sex, Fertility and Men-struation Among The Beng of the Ivory Coast: A Symbolic Analysis”. Africa, 52:4: 34-47
Foucault, M., 1990. The History of Sexuality London: Penguin Books