
Masalah kesuburan seringkali dikira cuma urusan perempuan. Padahal, kenyataannya, hampir setengah dari kasus infertilitas juga melibatkan pihak pria. Meski laki-laki seringkali dibebankan sebagai pencari nafkah sehingga seringkali tidak terlihat jika mentalnya juga terganggu!
Padahal ternyata ketika seorang pria dinyatakan mengalami masalah kesuburan, ini bukan cuma soal hasil pemeriksaan medis tapi juga bisa mengguncang sisi emosional dan mental mereka. Artikel kali ini akan membahas tentang ini jadi baca sampai akhir ya!
Bagaimana Laki-laki yang Terdampak dengan Stigma Infertilitas
Laki-laki yang terserang infertilitas, mereka juga banyak yang merasakan kekecewaan yang mendalam hal ini disebabkan oleh tubuh sendiri nggak berfungsi seperti yang diharapkan. Banyak pria yang kemudian merasa gagal, minder, bahkan mempertanyakan harga dirinya sebagai laki-laki.
Perasaan seperti sedih, kecewa, cemas, atau marah bisa muncul begitu saja. Tapi sayangnya, nggak semua pria merasa nyaman untuk mengungkapkan itu. Budaya kita cenderung menuntut laki-laki untuk “kuat” dan “tegar”, padahal di dalam hati mereka bisa saja sedang goyah.
Lalu Sikap Apa yang Sebaiknya diAmbil?
Mengetahui penyebab infertilitas memang penting untuk pengobatan, tapi dalam prosesnya, menyalahkan salah satu pihak justru memperburuk keadaan. Karena nyatanya, baik pria yang punya gangguan kesuburan maupun pria yang pasangannya mengalami gangguan serupa, sama-sama bisa merasakan tekanan mental yang besar.
Infertilitas bukan hanya masalah fisik tapi juga pengalaman emosional yang kompleks. Dan siapa pun bisa merasa terbebani oleh hal ini, apapun penyebabnya.
Sering kali, pria merasa harus menyembunyikan emosi demi menjaga pasangan. Tapi justru di situlah letak bahayanya. Emosi yang dipendam bisa berubah jadi stres berkepanjangan, bahkan gangguan mental seperti depresi atau kecemasan.
Itulah kenapa penting bagi kita semua untuk lebih peka dan terbuka. Pasangan, keluarga, bahkan tenaga medis sebaiknya memberi ruang bagi pria untuk bercerita. Menyediakan dukungan emosional, bukan hanya fokus pada solusi medis.
Yang tidak kalah penting paksu juga membutuhkan Konseling, komunitas, atau sekadar percakapan yang hangat bisa jadi bentuk dukungan yang berarti. Karena mereka juga butuh tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Menghadapi masalah kesuburan memang tidak mudah. Tapi dengan dukungan yang tepat, proses ini bisa dilalui dengan lebih kuat secara fisik maupun mental. Karena pada akhirnya, perjuangan untuk punya anak bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal keberanian untuk terus berharap… dan saling menguatkan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Biggs, S. N., Halliday, J., & Hammarberg, K. (2024). Psychological consequences of a diagnosis of infertility in men: a systematic analysis. Asian journal of andrology, 26(1), 10-19.