
Infertilitas bukan cuma soal perempuan. Faktanya, sekitar 50% kasus infertilitas pada pasangan disumbang oleh faktor laki-laki. Nah fakta bahwa sekitar 40% kasus infertilitas pria termasuk dalam kategori idiopatik alias penyebabnya belum jelas. Salah satu kondisi yang cukup sering muncul dalam kasus ini adalah oligoasthenoteratozoospermia (OAT), yang merujuk pada rendahnya jumlah sperma, motilitas (kemampuan bergerak), dan bentuk sperma yang normal.
Menurut kriteria WHO 2010, seseorang dikatakan mengalami OAT jika konsentrasi sperma kurang dari 15 juta/mL, motilitas total di bawah 40%, motilitas progresif kurang dari 32%, dan morfologi sperma normal kurang dari 4%. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan multidisiplin sangat penting, termasuk strategi pengobatan berbasis hormonal yang mulai menunjukkan hasil menjanjikan. Nah MDG akan membahas lebih lanjut bagaimana strategi hormonal ini berpengaruh!
Hubungan Hormon dengan Kesuburan Laki-laki
Jadi sistem kesuburan laki-laki itu sangat bergantung pada keseimbangan hormon dalam sumbu HPG (hipotalamus–hipofisis–gonad). Gangguan apa pun di titik ini bisa mengacaukan produksi sperma. Beberapa kondisi yang bisa mengganggu sumbu HPG antara lain, obesitas dan diabetes melitus yang tidak terkontrol, Infeksi dan penyakit sistemik, penggunaan obat tertentu seperti anti-androgen dan steroid, konsumsi alkohol berlebihan, paparan zat kimia yang mengganggu hormon dan juga tumor testis atau hormon-secreting tumor seperti tumor Leydig
Nah pada beberapa kasus ternyata laki-laki dengan OAT memiliki kadar testosteron yang rendah, namun kadar hormon FSH dan LH-nya tetap normal, hal ini menunjukkan adanya hipogonadisme fungsional, kondisi yang bisa memburuk karena gaya hidup tidak sehat seperti obesitas.
Kenapa Tidak Bisa Pakai Terapi Testosteron Biasa?
Secara logika, jika testosteron rendah, tinggal diberi saja, kan? Sayangnya, tidak sesederhana itu.
Terapi penggantian testosteron (TRT) memang lazim digunakan untuk pria dengan hipogonadisme, tapi bagi pria yang ingin tetap subur, ini bisa jadi bumerang. Testosteron sintetis justru memberi sinyal ke otak bahwa tubuh sudah cukup hormon, sehingga produksi hormon pemicu sperma (GnRH, FSH, dan LH) ditekan. Akibatnya, kadar testosteron di dalam testis yang sangat penting untuk pembentukan sperma menurun drastis. Untuk itu butuh pendekatan hormonal yang tepat sasaran.
Pengobatan Hormonal yang Tepat Sasaran
Alih-alih memberi testosteron dari luar, strategi terbaru adalah meningkatkan produksi testosteron alami di dalam testis, terutama dengan menargetkan jalur androgen dalam sel Sertoli, Leydig, dan mioid peritubular. Sebuah temuan bahkan menunjukkan bahwa jika reseptor androgen dalam sel-sel ini dinonaktifkan (seperti pada studi tikus knockout), proses spermatogenesis akan berhenti. Artinya, testosteron lokal di testis sangat krusial, bahkan lebih penting dari testosteron dalam darah.
Namun, kadar testosteron intratestikular optimal untuk merangsang spermatogenesis hingga kini masih menjadi tanda tanya besar. Sehingga dibutuhkan evaluasi menyeluruh sebelum memulai terapi hormonal. Mulai dari menentukan kandidat yang cocok untuk terapi hormonal, memilih jenis terapi yang tepat, menentukan durasi pengobatan dan mengevaluasi hasil terapi secara berkala. Masih banyak perdebatan terkait pilihan terapi, dosis, dan waktu terbaik untuk pengobatan hormonal pada pasien OAT. Jadi jangan lupa tetap konsultasikan dengan dokter ya! informasi menarik lainnya follow Instagram @menujuduagaris.id.
Referensi
- Çayan, S., Altay, A. B., Rambhatla, A., Colpi, G. M., & Agarwal, A. (2024). Is There a Role for Hormonal Therapy in Men with Oligoasthenoteratozoospermia (OAT)?. Journal of Clinical Medicine, 14(1), 185.