Waspadai Jenis Stress Dalam IVF dan Mempertanyakan Siapa yang Lebih Rentan Mengalami Tekanan Psikologis

 

Saat menjalani program bayi tabung (IVF) atau teknologi reproduksi berbantuan (ART), pasangan tidak hanya menghadapi tantangan fisik, tapi juga tekanan mental. Banyak yang tidak menyadari bahwa proses ini bisa sangat menguras emosi.

MDG akan membahas ini dengan sister bahwa tekanan psikologis yang dirasakan pria dan wanita selama menjalani program ini bisa berbeda. Dengan kita memahami ini membantu kita lebih memahami pentingnya dukungan emosional selama proses memiliki buah hati

Apa yang Dirasakan Para Perempuan?

Dibandingkan para suami, wanita yang mengalami infertilitas ternyata lebih tinggi dalam berbagai gejala psikologis, seperti:

  1. Somatisasi (keluhan fisik yang terkait stres),
    Tekanan mental selama program bayi tabung (IVF) juga bisa memicu gangguan psikologis lain seperti somatic symptom disorder (SSD) atau gangguan somatoform. Kondisi ini membuat seseorang merasakan berbagai keluhan fisik seperti nyeri perut, sesak napas, atau kelelahan, padahal tidak ditemukan penyebab medis yang jelas. Yang membedakan adalah tingkat kekhawatiran berlebih terhadap gejala fisik tersebut pengidap SSD bisa merasa sangat cemas dan yakin bahwa mereka sedang mengalami penyakit serius. Dalam konteks IVF, ketegangan emosional yang terus-menerus bisa membuat seseorang lebih peka terhadap perubahan tubuhnya, hingga setiap rasa nyeri atau sensasi ringan pun dianggap sebagai tanda bahaya. Gejala ini bisa semakin mengganggu proses dan memperburuk tekanan psikologis yang dirasakan. Karena itu, penting bagi pasangan untuk memahami bahwa kesehatan mental juga bagian dari kesiapan menjalani program kesuburan, dan tidak ragu mencari bantuan profesional jika muncul gejala yang mengganggu.
  2. Gejala obsesif,
    Bagi sebagian pasangan yang menjalani program bayi tabung (IVF), tekanan mental yang muncul bisa memicu atau memperparah kondisi kesehatan mental tertentu, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD). OCD ditandai dengan pola pikir dan ketakutan yang tidak diinginkan (obsesi) yang mendorong seseorang melakukan perilaku berulang (kompulsi) untuk meredakan kecemasan. Misalnya, kekhawatiran berlebihan terhadap kebersihan atau prosedur medis dapat membuat seseorang terus-menerus mencuci tangan, mengecek jadwal minum obat, atau berulang kali mencari kepastian dari tenaga medis semua dilakukan secara berlebihan dan ritualistik. Sayangnya, dorongan untuk mengontrol segala sesuatu ini justru menimbulkan lingkaran stres yang sulit diputus. Di tengah proses IVF yang sudah menantang secara fisik dan emosional, kondisi OCD bisa makin memperberat beban mental. Perasaan malu, frustrasi, atau risih terhadap gejala OCD pun kerap muncul. Namun, penting untuk diingat bahwa kondisi ini bisa diatasi dengan bantuan profesional, dan pengobatan yang tepat dapat membantu memperbaiki kualitas hidup selama menjalani program kesuburan.

Bahkan penelitian yang dilakukan Kissi, 2013 menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengalami tekanan psikologis yang lebih berat saat menghadapi tantangan infertilitas dan menjalani prosedur medis seperti ART. Bukan berarti pria tidak terpengaruh, tetapi tekanan emosional pada wanita tampaknya lebih kompleks dan dalam.

Untuk itu sister dan paksu harus mulai aware dengan dukungan psikologis yang bukan dapat dihiraukan karena hal ini masuk sebagai bagian dari perawatan infertilitas. Terutama untuk para sister yang membutuhkan dukungan ekstra, layanan konseling atau terapi emosional bisa sangat membantu dalam menjaga keseimbangan mental selama proses pengobatan.

Infertilitas bukan sekadar isu medis. Ini juga tentang perasaan, harapan, dan tekanan sosial yang seringkali hanya dirasakan tapi tak terucap. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi