Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Selama ini, kanker testis dikenal dapat menyebabkan penurunan kesuburan pria baik sebelum maupun sesudah pengobatan. Namun, sisi lain dari hubungan ini apakah infertilitas dapat meningkatkan risiko kanker testis masih belum sepenuhnya dipahami. Ulasan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui analisis komprehensif terhadap bukti histopatologis, etiologis, dan epidemiologis yang ada.
Infertilitas dan Kanker Testis: Hubungan Dua Arah
Yang harus paksu tahu bahwasanya secara global, kanker testis termasuk jenis kanker yang relatif jarang, tetapi merupakan kanker paling umum pada pria usia 15–44 tahun di Eropa. Tahun 2020, tercatat sekitar 74.500 kasus baru di seluruh dunia.
Di sisi lain, sekitar 8–12% pasangan mengalami kesulitan memiliki anak, dan 50% diantaranya disebabkan oleh faktor pria. Penurunan kualitas dan jumlah sperma pada pria di berbagai negara menjadi perhatian serius dalam dua dekade terakhir.
Kanker testis diketahui sangat mempengaruhi kesuburan pria. Sekitar 52% pria dengan kanker testis mengalami oligospermia (jumlah sperma rendah) sebelum pengobatan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan penderita kanker lain. Jenis tumor seperti seminoma bahkan memiliki dampak lebih besar terhadap produksi sperma dibanding tumor non-seminomatous.
Selain itu, berbagai bentuk terapi kanker testis terutama kemoterapi dan radioterapi dikenal bersifat genotoksik, yakni dapat merusak jaringan penghasil sperma. Walau demikian, tingkat keberhasilan pasangan untuk hamil setelah pengobatan tetap tinggi, yakni mencapai sekitar 82%.
Infertilitas Pria sebagai Faktor Risiko Kanker Testis
Sementara hubungan kanker testis terhadap infertilitas sudah jelas, bukti bahwa infertilitas dapat menjadi faktor risiko kanker testis baru mulai terungkap dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian-penelitian yang ditinjau dalam ulasan ini menunjukkan bahwa:
- Neoplasia sel germinal in situ (GCNIS), yang merupakan cikal bakal kanker testis, lebih sering ditemukan pada pria infertil, terutama pada mereka dengan jumlah sperma sangat rendah.
Secara epidemiologis, pria infertil memiliki risiko kanker testis yang lebih tinggi dibandingkan pria subur atau populasi umum. - Model Testicular Dysgenesis Syndrome (TDS) menjelaskan bahwa kondisi seperti infertilitas, kanker testis, kriptorkismus (testis tidak turun), dan hipospadia (kelainan lubang uretra) dapat memiliki akar penyebab yang sama, yakni gangguan perkembangan testis sejak masa janin.
Pentingnya Pemeriksaan dan Deteksi Dini
Bagi pria dengan infertilitas, beberapa tanda klinis dapat membantu menilai risiko kanker testis, antara lain:
- Riwayat kriptorkismus (testis tidak turun sempurna saat lahir),
- Lesi testis atau mikrolithiasis yang terdeteksi lewat USG skrotum,
- Parameter analisis sperma yang menunjukkan gangguan signifikan.
Peneliti juga menyoroti potensi penggunaan biomarker baru, seperti mikroRNA (miRNA) dalam sperma dan serum, untuk mendeteksi dini kanker testis dan GCNIS secara non-invasif di masa depan. Temuan tersebut juga menegaskan bahwa infertilitas pria bukan hanya masalah reproduksi, tetapi juga dapat menjadi tanda risiko kanker testis. Karena itu, penilaian menyeluruh melalui pemeriksaan fisik, analisis sperma, dan USG testis sangat disarankan bagi pria yang mengalami gangguan kesuburan.
Pendekatan ini tidak hanya membantu diagnosis dini kanker testis, tetapi juga menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan reproduksi dan keselamatan jangka panjang pria.
Referensi:
Maiolino, G., Fernández-Pascual, E., Ochoa Arvizo, M. A., Vishwakarma, R., & Martínez-Salamanca, J. I. (2023). Male Infertility and the Risk of Developing Testicular Cancer: A Critical Contemporary Literature Review. Medicina, 59(7), 1305. https://doi.org/10.3390/medicina59071305

Bagi banyak perempuan baik dari sister atau orang yang ada disekitar sister dengan endometriosis, rasa nyeri bisa menjadi bagian dari keseharian yang melelahkan.
Nyeri panggul yang terus muncul meski tidak sedang haid, rasa sakit saat berhubungan intim (dyspareunia), atau sulit buang air besar (dyschezia) membuat aktivitas sederhana pun terasa berat.
Selama ini, terapi standar seperti pil hormon atau tindakan pembedahan memang membantu, tapi tidak selalu memberi hasil jangka panjang. Bahkan, separuh pasien mengalami kekambuhan gejala dalam lima tahun. Karena itu, banyak peneliti mulai mencari cara pendamping yang bisa membantu mengontrol nyeri tanpa efek samping berlebih.
Jejak Baru dari Dapur: Diet Ketogenik
Sebuah studi baru dari Universitas Tehran, Iran, membawa harapan menarik.
Peneliti mencoba mengkombinasikan diet ketogenik yang dimodifikasi dengan MCT (Medium Chain Triglycerides) dengan terapi standar untuk pasien endometriosis.
Diet ini berbeda dari diet ketogenik klasik yang ekstrem. Kandungan lemaknya berasal dari sumber sehat seperti minyak MCT, ikan, telur, dan kacang, dengan karbohidrat sangat rendah. Tujuannya adalah memicu proses ketosis kondisi di mana tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energi utama tanpa menimbulkan efek samping berat seperti mual atau kelelahan yang sering dikeluhkan pada versi klasiknya.
12 Minggu, Perubahan Nyata
Selama 12 minggu, sebanyak 50 perempuan dengan endometriosis menjalani pengobatan hormon seperti biasa. Separuh diantaranya menambahkan pola makan ketogenik-MCT.
Hasilnya mengejutkan.
Mereka yang mengikuti diet ini mengalami penurunan nyeri signifikan, terutama pada dua gejala paling mengganggu: nyeri saat berhubungan intim dan nyeri saat buang air besar. Bahkan, nyeri panggul yang membandel pun menunjukkan perbaikan meskipun tidak sebesar dua gejala lainnya.
Yang menarik, semua ini terjadi tanpa perubahan besar pada berat badan, kolesterol, atau fungsi hati. Artinya, diet ini aman bila dilakukan dengan pemantauan dokter dan ahli gizi.
Mengapa Bisa Begitu?
Endometriosis bukan sekadar gangguan hormonal. Ia melibatkan peradangan kronis, stres oksidatif, dan pertumbuhan pembuluh darah baru yang mendukung lesi endometriosis.
Diet ketogenik bekerja dari banyak sisi:
- Menekan peradangan dan stres oksidatif, sehingga mengurangi aktivitas sel yang memicu nyeri.
- Menstabilkan hormon estrogen, yang berperan besar dalam pertumbuhan jaringan endometriosis.
- Menghambat jalur sinyal Wnt/β-catenin, salah satu mekanisme biologis yang membuat lesi endometriosis bertahan dan tumbuh.
Bagi sister yang sedang berjuang dengan nyeri kronis, berbicara dengan dokter atau ahli gizi tentang pola makan yang mendukung keseimbangan hormon dan mengurangi peradangan bisa menjadi langkah bijak. Mungkin, langkah kecil dari dapur bisa membuka jalan menuju hari-hari yang lebih ringan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi:
Naeini, F., Davari Tanha, F., Mahmoudi, M., Ansar, H., & Hosseinzadeh-Attar, M. J. (2025). MCT-modified ketogenic diet as an adjunct to standard treatment regimen could alleviate clinical symptoms in women with endometriosis. BMC Women’s Health, 25(232).

Endometriosis bukan cuma soal nyeri haid yang tak tertahankan. Ia adalah kondisi kronis yang kompleks, melibatkan peradangan di seluruh tubuh dan seringkali memengaruhi sistem pencernaan, hormon, bahkan keseimbangan bakteri baik dalam tubuh. Kondisi ini dialami oleh hampir 190 juta perempuan di dunia, dan banyak di antara mereka yang berjuang bertahun-tahun sebelum akhirnya mendapat diagnosis pasti.
Meski perawatan medis seperti operasi dan terapi hormon masih jadi andalan utama, kini semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa pola makan dan nutrisi juga bisa memainkan peran penting dalam meredakan gejala endometriosis. Yuk pahami lebih dalam sister!
Mengapa Makanan Bisa Berpengaruh?
Tubuh kita punya tiga “aktor utama” yang sangat terkait dengan perkembangan endometriosis: peradangan, hormon estrogen, dan mikrobioma usus (kumpulan bakteri baik di saluran pencernaan). Menariknya, ketiganya bisa dipengaruhi langsung oleh apa yang kita makan setiap hari.
Makanan yang tinggi lemak jenuh dan daging merah, misalnya, dapat memicu peradangan dan meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh. Sebaliknya, makanan yang kaya antioksidan seperti sayur, buah, dan ikan berlemak tinggi omega-3, cenderung membantu menekan peradangan dan menstabilkan hormon.
Saat Sistem Imun dan Hormon Tidak Seimbang
Pada perempuan dengan endometriosis, sistem imun cenderung terlalu aktif. Sel-sel kekebalan yang seharusnya melindungi tubuh justru melepaskan zat-zat peradangan seperti cytokines dan prostaglandin, yang memicu nyeri dan membuat jaringan endometrium tumbuh di tempat yang tidak seharusnya.
Selain itu, kadar hormon estrogen yang terlalu tinggi bisa memperparah keadaan. Estrogen berlebih mendorong jaringan endometrium tumbuh lebih cepat dan membuat nyeri terasa lebih berat. Pola makan yang membantu menjaga kadar estrogen misalnya dengan memperbanyak serat dari sayur dan biji-bijian utuh bisa membantu tubuh membuang kelebihan hormon ini lewat sistem pencernaan.
Peran Mikrobioma Usus
Penelitian terbaru juga menemukan hubungan menarik antara bakteri usus dan kadar estrogen. Bakteri tertentu di usus, yang disebut estrobolome, berfungsi mengatur seberapa banyak estrogen aktif yang beredar di dalam tubuh. Jika keseimbangan mikrobioma terganggu (kondisi yang disebut dysbiosis), produksi enzim yang mengontrol estrogen ikut kacau, dan hormon ini bisa menumpuk, memperburuk gejala endometriosis.
Artinya, menjaga kesehatan usus lewat pola makan misalnya dengan konsumsi probiotik alami, makanan berserat tinggi, dan menghindari gula berlebih bisa berdampak langsung pada keseimbangan hormon dan rasa nyeri.
Pola Makan yang Menunjang
Sejumlah studi menunjukkan hasil menjanjikan dari beberapa pola makan berikut:
- Pola makan tinggi buah dan sayur: Kaya antioksidan, menekan stres oksidatif yang memicu nyeri.
- Diet Mediterania: Kaya ikan, minyak zaitun, biji-bijian utuh, dan sayuran; mendukung keseimbangan hormon dan menurunkan inflamasi.
- Asupan omega-3 dan vitamin D: Berperan dalam mengatur sistem imun dan mengurangi produksi prostaglandin penyebab nyeri.
- Mengurangi daging merah, susu tinggi lemak, dan makanan olahan: Membantu menekan peradangan kronis dan stres oksidatif.
Meski begitu, belum ada satu pola makan yang terbukti paling efektif untuk semua orang dengan endometriosis. Setiap tubuh punya respons berbeda, sehingga pendekatannya perlu disesuaikan secara individual.
Lebih dari Sekadar “Diet”
Mengatur pola makan untuk endometriosis bukan berarti membatasi diri secara ekstrem. Ini tentang memahami bahwa makanan yang masuk ke tubuh bisa menjadi “alat bantu terapi” yang menopang pengobatan medis. Perubahan kecil seperti menambah sayur hijau, mengganti minyak goreng dengan minyak zaitun, atau mengurangi kafein dan alkohol bisa membawa dampak besar dalam jangka panjang.
Endometriosis memang belum bisa disembuhkan sepenuhnya, tapi dengan dukungan medis yang tepat dan gaya hidup yang mendukung keseimbangan tubuh termasuk dari apa yang kita makan hidup dengan kondisi ini bisa jadi jauh lebih baik. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Abulughod, N., Valakas, S., & El-Assaad, F. (2024). Dietary and nutritional interventions for the management of endometriosis. Nutrients, 16(23), 3988.

Bagi banyak pasangan, kesulitan untuk hamil sering kali dikaitkan dengan faktor medis seperti gangguan ovulasi, kualitas sperma, atau masalah pada rahim. Namun ada satu hal yang sering terlewat dan sulit diukur secara kasat mata yaitu tingkat stres.
Stres bukan hanya urusan pikiran atau emosi, tetapi juga bagian dari reaksi biologis tubuh. Ketika seseorang mengalami tekanan baik karena pekerjaan, tekanan sosial, atau kekhawatiran tentang program hamil tubuh akan memicu sistem pertahanan alami yang ternyata juga mempengaruhi sistem reproduksi.
Ketika Sistem Tubuh Bertabrakan
Tubuh manusia memiliki dua sistem utama yang berperan besar dalam mengatur stres dan kesuburan. Pertama, HPA axis (hypothalamic-pituitary-adrenal axis), yang aktif ketika kita berada dalam kondisi stres. Kedua, HPG axis (hypothalamic-pituitary-gonadal axis), yang mengatur fungsi hormon reproduksi.
Saat stres muncul, otak melepaskan hormon CRH dan ACTH yang kemudian memicu pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol membantu tubuh “bertahan” dari tekanan, tapi jika kadarnya terus tinggi dalam waktu lama, ia justru menekan kerja HPG axis.
Akibatnya, hormon-hormon yang mengatur sistem reproduksi seperti GnRH (gonadotropin-releasing hormone) ikut menurun. Padahal, GnRH inilah yang memicu keluarnya hormon FSH (follicle-stimulating hormone) dan LH (luteinizing hormone) dari kelenjar pituitari dua hormon penting untuk ovulasi pada perempuan dan pembentukan sperma pada laki-laki.
Ketika sistem ini terganggu, efeknya bisa berantai: ovulasi tidak terjadi, siklus haid menjadi tidak teratur, dan pada pria, spermatogenesis menurun sehingga kualitas sperma ikut memburuk.
Dampak Fisiologis Stres pada Tubuh Perempuan
Pada perempuan, stres kronis dapat memengaruhi hampir semua fase siklus reproduksi.
Produksi GnRH yang rendah menyebabkan gangguan pada pelepasan sel telur dari ovarium. Tanpa ovulasi, peluang terjadinya pembuahan otomatis menurun.
Selain itu, stres juga meningkatkan kadar prolaktin, hormon yang biasanya tinggi selama masa menyusui. Dalam kondisi normal, prolaktin membantu menghambat ovulasi sebagai bentuk perlindungan alami tubuh. Namun ketika naik akibat stres, hormon ini justru bisa menyebabkan gangguan kesuburan.
Ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron juga menjadi konsekuensi lain. Estrogen yang tidak stabil bisa membuat lapisan endometrium tidak berkembang optimal, sedangkan progesteron yang rendah menghambat proses implantasi embrio. Akibatnya, meskipun pembuahan terjadi, embrio sulit menempel dan berkembang dengan baik di rahim.
Dampak Stres pada Pria: Dari Testosteron hingga Sperma
Pada pria, efek stres tak kalah signifikan. Peningkatan kortisol yang berkepanjangan dapat menurunkan kadar testosteron, hormon utama yang mengatur gairah seksual, fungsi ereksi, serta produksi sperma.
Dalam kondisi stres kronis, tubuh memprioritaskan energi untuk sistem pertahanan, bukan untuk reproduksi. Akibatnya, proses pembentukan sperma menjadi tidak efisien. Penelitian juga menunjukkan bahwa stres dapat memengaruhi kualitas DNA sperma, membuatnya lebih rentan terhadap kerusakan atau fragmentasi.
Kondisi ini bisa berujung pada penurunan motilitas sperma, jumlah sperma yang lebih sedikit, dan meningkatnya risiko kegagalan pembuahan. Bahkan pada beberapa kasus, stres berat juga berkaitan dengan disfungsi ereksi yang disebabkan oleh gangguan hormonal dan psikosomatik.
Lingkaran yang Sulit Diputus
Salah satu tantangan terbesar dari hubungan antara stres dan infertilitas adalah sifatnya yang saling mempengaruhi. Stres bisa menghambat fungsi reproduksi, sementara kegagalan untuk hamil dalam waktu lama menimbulkan stres baru.
Lingkaran ini sering kali terjadi tanpa disadari. Pasangan yang menjalani program hamil mungkin mulai merasa cemas setiap kali jadwal ovulasi tiba, atau kehilangan antusiasme terhadap hubungan intim karena tekanan emosional. Secara fisiologis, rasa cemas ini memicu kembali pelepasan kortisol yang berarti, sistem stres tubuh kembali aktif dan siklusnya berulang.
Mengelola Stres, Menjaga Keseimbangan Hormon
Mengatasi stres bukan hanya soal “berpikir positif”. Tubuh membutuhkan waktu dan kebiasaan yang konsisten untuk memulihkan keseimbangan hormonal. Tidur cukup, pola makan bergizi, olahraga ringan seperti yoga atau jalan kaki, serta waktu istirahat yang cukup, semuanya berperan dalam menurunkan kadar kortisol.
Selain itu, dukungan emosional dari pasangan juga sangat berpengaruh. Ketika pasangan memahami bahwa stres memiliki dampak biologis nyata terhadap kesuburan, mereka bisa bersama-sama mencari cara untuk menenangkan diri tanpa menyalahkan satu sama lain.
Meditasi, terapi relaksasi, dan konseling psikologis juga terbukti membantu memperbaiki respons tubuh terhadap stres. Dengan menurunkan kadar kortisol, sistem reproduksi perlahan dapat berfungsi kembali dengan normal, dan keseimbangan hormon pun mulai pulih.
Menyadari Hubungan antara Pikiran dan Kesuburan
Tubuh dan pikiran bekerja dalam satu sistem yang terhubung. Menyadari bahwa stres bisa memengaruhi hormon bukan berarti harus menghindari tekanan sepenuhnya karena itu hampir mustahil. Yang lebih penting adalah memahami kapan tubuh mulai lelah, dan memberikan ruang untuk pulih.
Kesuburan bukan hanya tentang organ reproduksi yang sehat, tetapi juga tentang sistem tubuh yang seimbang. Saat pikiran tenang dan hormon bekerja sesuai ritmenya, tubuh punya kesempatan lebih besar untuk mempersiapkan kehidupan baru. Jangan lupa informasi menarik lainnya follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Ramya, S., Poornima, P., Jananisri, A., Geofferina, I. P., Bavyataa, V., Divya, M., … & Balamuralikrishnan, B. (2023). Role of Hormones and the Potential Impact of Multiple Stresses on Infertility. Stresses, 3 (2), 454-474.

Adenomiosis sering dianggap sebagai “saudara dekat” endometriosis. Bedanya, kalau endometriosis tumbuh di luar rahim, adenomiosis justru berada di dalam dinding otot rahim, tepatnya di lapisan bernama myometrium. Kondisi ini membuat jaringan yang seharusnya luruh saat menstruasi malah terjebak di dalam otot rahim, menimbulkan nyeri hebat, perdarahan banyak, dan dalam beberapa kasus, memengaruhi kesuburan.
Selama ini, diagnosis adenomiosis memang bisa dilakukan lewat USG transvaginal, tetapi sulit untuk menilai seberapa parah kondisinya hanya dari gambar. Untuk itu, sekelompok dokter di Italia mencoba memperkenalkan sistem klasifikasi baru berbasis USG, dengan tujuan menilai jenis dan tingkat keparahan adenomiosis secara lebih akurat, sekaligus melihat kaitannya dengan gejala yang dirasakan pasien. Yuk sister pahami lebih dalam bagaimana USG dapat mengklasifikasikan kasus adenomiosis.
Melihat Lebih Dalam lewat USG
Peneliti membedakan adenomiosis menjadi dua tipe utama.
Pertama, adenomiosis fokal, yaitu ketika jaringan tumbuh di area tertentu saja dalam dinding rahim. Kedua, adenomiosis difus, yaitu ketika jaringan menyebar hampir ke seluruh otot rahim.
Selain jenisnya, mereka juga menilai seberapa luas dan parah jaringan tersebut menyusup ke otot rahim. Dari sinilah mereka menemukan bahwa jenis dan derajat adenomiosis ternyata berkaitan dengan seberapa berat gejala yang dialami seseorang.
Hasil yang Menarik
Wanita dengan adenomiosis difus umumnya berusia lebih tua dan mengalami perdarahan menstruasi yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang memiliki adenomiosis fokal. Namun, rasa nyeri saat haid atau saat berhubungan tidak selalu lebih berat, sehingga nyeri tidak bisa dijadikan satu-satunya ukuran keparahan penyakit ini.
Pada kasus adenomiosis berat, perdarahan cenderung jauh lebih banyak, terutama jika di dalam rahim sudah terbentuk adenomyoma, yaitu benjolan padat dari jaringan adenomiosis. Hal ini membuat banyak wanita mengalami haid yang berkepanjangan dan sangat melelahkan.
Menariknya, justru wanita dengan adenomiosis fokal lebih sering mengalami kesulitan untuk hamil dan memiliki riwayat keguguran dibandingkan dengan mereka yang memiliki tipe difus. Hal ini kemungkinan karena adenomiosis fokal sering melibatkan area penting di rahim, yaitu zona junctional lapisan transisi antara bagian dalam rahim dan otot di sekitarnya yang berperan besar dalam proses implantasi embrio.
Apa Artinya bagi Pasien
Temuan ini menegaskan bahwa USG bukan hanya alat untuk memastikan ada atau tidaknya adenomiosis. Dengan klasifikasi yang lebih rinci, dokter dapat memperkirakan bagaimana kondisi ini memengaruhi kesuburan dan kualitas hidup pasien.
Bagi perempuan yang sedang merencanakan kehamilan, informasi ini penting untuk menentukan langkah selanjutnya apakah perlu terapi hormonal, tindakan medis, atau cukup dengan pemantauan rutin.
Klasifikasi baru ini juga membantu dokter dalam menyusun rencana penanganan yang lebih personal. Sebab, setiap tipe dan derajat adenomiosis memiliki tantangan yang berbeda, baik dari segi gejala maupun pengaruhnya terhadap kesuburan.
Adenomiosis bukan sekadar masalah nyeri haid atau perdarahan berlebih. Melalui pemeriksaan USG yang lebih detail, kita bisa memahami bahwa bentuk dan penyebaran penyakit ini berhubungan erat dengan gejala serta peluang untuk hamil.
Semakin akurat diagnosisnya, semakin besar peluang bagi perempuan untuk mendapatkan perawatan yang sesuai dan kembali memiliki kendali atas tubuh serta kualitas hidupnya. Jangan lupa baca artikel lengkapnya di menujuduagaris.id ya!
Referensi
- Exacoustos, C., Morosetti, G., Conway, F., Camilli, S., Martire, F. G., Lazzeri, L., … & Zupi, E. (2020). New sonographic classification of adenomyosis: do type and degree of adenomyosis correlate to severity of symptoms?. Journal of minimally invasive gynecology, 27(6), 1308-1315.

Kalau kamu pernah dengar istilah endometriosis, mungkin bayanganmu langsung ke nyeri haid hebat atau masalah hamil. Endometriosis itu terjadi ketika jaringan yang seharusnya melapisi rahim justru tumbuh di luar rahim, misalnya di ovarium, tuba falopi, atau dinding perut. Kehadirannya bisa bikin organ reproduksi berubah posisi atau lengket satu sama lain.
Tapi, jangan semua endometriosis sama. Dokter biasanya membaginya berdasarkan grade atau tingkat keparahan:
- Grade I – Minimal: cuma beberapa lesi kecil dan adhesi tipis, nyaris nggak mengganggu organ.
- Grade II – Ringan: lesi lebih banyak, mungkin ada adhesi tipis di beberapa area, sedikit memengaruhi organ.
- Grade III – Sedang: lesi lebih besar, adhesi mulai menempel pada organ reproduksi, kemungkinan menurunkan peluang hamil.
- Grade IV – Berat: lesi luas, adhesi tebal, organ reproduksi bisa berubah bentuk signifikan, peluang hamil alami jauh lebih rendah.
Nah, pertanyaannya: kalau cuma minimal atau ringan, apakah kesuburan tetap terganggu?
Sebuah penelitian besar di Kanada mencoba menjawab pertanyaan ini. Sylvie Bérubé dan tim mengamati 331 wanita infertil usia 20–39 tahun dari 23 klinik di seluruh Kanada. Mereka dibagi menjadi dua kelompok:
- Wanita dengan endometriosis minimal atau ringan (168 wanita)
- Wanita dengan infertilitas tak diketahui penyebabnya (263 wanita)
Semua wanita tidak langsung diberi obat atau prosedur pembuahan. Mereka hanya menjalani laparoskopi diagnostik, yaitu pemeriksaan dengan kamera mini ke dalam perut, untuk melihat kondisi organ reproduksi secara langsung. Setelah itu, mereka dipantau selama 36 minggu untuk melihat siapa yang berhasil hamil secara alami dan mempertahankan kehamilan lebih dari 20 minggu.
Hasilnya cukup melegakan:
- Dari kelompok endometriosis ringan/minimal, 18,2% berhasil hamil.
- Dari kelompok infertilitas tak jelas, angkanya 23,7%.
Kalau dihitung dalam angka fecundity (kehamilan per 100 orang-bulan), hasilnya 2,52 vs 3,48. Perbedaan ini tidak signifikan secara statistik, artinya peluang hamil wanita dengan endometriosis ringan/minimal hampir sama dengan wanita infertilitas tak jelas penyebabnya.
Apa Artinya Buat Kamu, Sister?
Grade endometriosis itu penting banget. Hanya endometriosis sedang atau berat yang biasanya menurunkan kesuburan karena menimbulkan adhesi tebal dan perubahan bentuk organ. Sedangkan minimal atau ringan, peluang hamil alami tetap cukup tinggi. Jadi, kalau baru didiagnosis endometriosis Grade I atau II, jangan panik dulu. Masih ada harapan besar buat hamil.
Tips Buat Kamu yang Sedang Berjuang Hamil
- Catat siklus haid dan aktivitas reproduksi supaya gampang dilacak.
- Konsultasi rutin dengan dokter spesialis reproduksi untuk strategi terbaik.
- Jangan takut berharap; endometriosis ringan bukan penghalang utama untuk punya momongan.
Penelitian ini memberi pesan penting: endometriosis ringan tidak selalu jadi momok besar. Jadi, sister, tetap semangat dan percaya proses tubuhmu masih mendukung kemungkinan hamil.
- Referensi:
Bérubé, S., Marcoux, S., Langevin, M., Maheux, R., et al. (1998). Fecundity of infertile women with minimal or mild endometriosis and women with unexplained infertility. Fertility and Sterility, 69, 1034–1041.

Pernah dengar istilah kista cokelat ovarium? Yup, ini salah satu jenis kista yang sering banget muncul pada perempuan dengan endometriosis. Warnanya kecokelatan karena berisi darah lama, dan sayangnya… sering juga jadi penyebab susah hamil
Biasanya dokter akan menyarankan operasi buat mengangkat kista ini. Tapi di titik ini, banyak pasien mulai galau “Kalau dioperasi, nanti fungsi indung telurku turun nggak, dok?” Pertanyaan itu valid banget, karena salah pilih metode operasi bisa berpengaruh ke cadangan sel telur.
Nah, penelitian dari Bozhou People’s Hospital dan Fuyang Hospital, Tiongkok, mencoba membandingkan dua metode operasi ini:
- Laparoskopi teknik minimal sayatan, pakai kamera kecil dan alat khusus.
- Laparotomi operasi terbuka dengan sayatan besar di perut.
Hasilnya Mengejutkan
Setelah meneliti 102 pasien kista cokelat, hasilnya cukup jelas:
laparoskopi bukan cuma lebih modern, tapi juga lebih aman dan lembut untuk tubuh. Proses operasinya lebih cepat rata-rata hanya 51 menit, sementara operasi terbuka butuh sekitar 80 menit. Pendarahannya juga lebih sedikit sekitar 27 mL dibanding 50 mL. Masa rawat inapnya lebih singkat 7 hari vs 12 hari. Dan yang paling penting: pemulihan tubuh jauh lebih cepat.
Pasien laparoskopi bahkan bisa mulai buang angin (tanda fungsi usus pulih) hanya 10 jam setelah operasi, sedangkan operasi terbuka butuh lebih dari 26 jam.
Dampaknya ke Hormon AMH
Nah, bagian ini penting banget buat sister yang lagi promil
Peneliti juga memeriksa kadar Anti-Müllerian Hormone (AMH) indikator utama cadangan sel telur.
Hasilnya? Setelah operasi, kedua kelompok memang mengalami penurunan AMH (karena sebagian jaringan ovarium ikut terangkat).
Tapi penurunan pada pasien laparoskopi lebih ringan dibanding operasi terbuka:
- AMH laparoskopi: 2,51 ng/mL
- AMH operasi terbuka: 1,84 ng/mL
Artinya, laparoskopi lebih “ramah” terhadap ovarium dan tidak terlalu mengganggu fungsi reproduksi.
Faktor yang Pengaruhi Keberhasilan Hamil
Selain metode operasi, ternyata banyak faktor lain yang juga menentukan keberhasilan hamil pascaoperasi, seperti:
- Usia dan lama menderita kista
- Kondisi tuba falopi
- Adanya perlengketan panggul
- Riwayat infertilitas sebelumnya
- Serta kadar AMH sebelum operasi
Faktanya, kadar AMH praoperasi bisa membantu dokter memperkirakan peluang kesuburan setelah operasi. Kalau nilainya di bawah 1,765 ng/mL, risiko gangguan kesuburan cenderung meningkat jadi pemeriksaan ini penting banget buat perencanaan promil ke depan.
Jadi, Kesimpulannya…
Buat sister yang punya kista cokelat ovarium dan sedang mempertimbangkan operasi,
laparoskopi bisa jadi pilihan yang lebih aman, cepat, dan bersahabat buat kesuburanmu. Prosedur ini minim luka, pemulihan lebih singkat, dan dampak terhadap fungsi ovarium juga lebih kecil. Tapi, tetap ya semua keputusan medis harus dibicarakan dulu dengan dokter yang memahami kondisi unik setiap pasien. Karena pada akhirnya, tujuan utama bukan cuma “mengangkat kista”, tapi juga menjaga harapan untuk dua garis.
Referensi
- Li, M. A., Xiaoli, Q. I., & Xiaoyan, S. H. I. Effects of different surgery methods on anti-mullerian hormone level and perioperative indicators in ovarian chocolate cyst patients. Journal of Clinical Medicine in Practice, 26(14), 79-83.

Pernah nggak, sister, merasa suasana hati jadi kacau setelah beberapa hari makan sembarangan? Atau tubuh terasa lemas, emosi mudah naik-turun, lalu siklus haid pun ikut berubah? Ternyata bukan kebetulan. Tubuh kita punya sistem komunikasi rumit yang menghubungkan tiga pusat kehidupan: usus, otak, dan organ reproduksi. Jalur ini dikenal sebagai gut–brain–reproductive axis sumbu biologis yang membuat apa yang kita makan bisa berdampak langsung ke hormon, suasana hati, bahkan peluang hamil.
Ketahui kalau Usus Menjadi Rumah Kecil bagi Jutaan “Penduduk”
Di dalam usus, ada miliaran mikroba yang hidup berdampingan dengan kita. Sebagian besar bekerja tanpa kita sadari membantu mencerna makanan, menyerap nutrisi, dan bahkan memproduksi hormon bahagia seperti serotonin dan dopamin. Karena itulah, para ilmuwan menyebut usus sebagai “otak kedua”. Saat keseimbangan mikroba di usus terganggu misalnya karena stres, kurang tidur, antibiotik, atau konsumsi makanan tinggi gula dan lemak sistem ini mulai kacau. Tubuh mengirim sinyal “bahaya” ke otak melalui saraf vagus, dan otak pun merespons dengan melepaskan hormon stres seperti kortisol.
Saat Stres Mengacaukan Ritme Tubuh
Kortisol yang meningkat bukan hanya membuat kita mudah cemas dan sulit tidur, tapi juga bisa menghambat produksi hormon reproduksi. Hormon penting seperti GnRH, FSH, dan LH bisa menurun, menyebabkan ovulasi tidak teratur. Akibatnya, peluang untuk hamil pun ikut menurun. Inilah mengapa banyak pasangan yang sedang promil mendapati stres justru menjadi penghalang utama bukan hanya secara emosional, tapi juga biologis.
Makanan: Kunci Keseimbangan Tiga Sumbu
Hubungan antara makanan, mood, dan kesuburan sangat erat. Makanan yang kita konsumsi bukan sekadar sumber energi, tapi juga “pesan kimia” untuk tubuh. Beberapa makanan dapat memperbaiki komunikasi di antara usus, otak, dan organ reproduksi:
- Probiotik dan Prebiotik
(yogurt, kefir, tempe, bawang putih, pisang)
→ Menjaga mikrobiota usus tetap seimbang, memperkuat imun, dan mengatur produksi serotonin. - Omega-3
(ikan laut dalam, chia seed, flaxseed)
→ Membantu mengurangi peradangan dan menjaga kestabilan mood. - Antioksidan
(buah beri, alpukat, sayur hijau)
→ Melindungi sel telur dari stres oksidatif dan mendukung kualitas oosit. - Zat Besi, Magnesium, dan Zinc
(daging tanpa lemak, biji labu, kacang-kacangan, cokelat hitam)
→ Menjaga fungsi hormon dan sistem saraf tetap optimal.
Dengan kata lain, gut–brain–reproductive axis adalah orkestra halus yang butuh keseimbangan nutrisi dan ketenangan pikiran agar bisa “bermain” selaras.
Menyuburkan Tubuh dan Pikiran
Saat promil, banyak yang hanya fokus pada hormon dan pemeriksaan medis. Padahal, kesehatan usus dan kestabilan mood tak kalah penting. Tubuh yang rileks dan usus yang sehat menciptakan lingkungan yang ideal untuk sistem reproduksi bekerja maksimal.
Coba Sister mulai dari hal sederhana:
- Tidur cukup 7–8 jam tiap malam
- Pilih makanan alami dan minim olahan
- Hindari stres berlebih, lakukan yoga, journaling, atau sekadar jalan santai sore hari
Karena pada akhirnya, kesuburan bukan hanya tentang siapa cepat hamil duluan, tapi tentang bagaimana tubuh dan pikiran bekerja dalam harmoni. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi:
- Komiyana, T. et al. (2023). Gut–brain–reproductive axis and fertility: Emerging roles of microbiota. Frontiers in Endocrinology.
- Leclercq, S. et al. (2020). The gut microbiota and the endocrine system: Implications for reproductive health. Trends in Endocrinology & Metabolism.
- Dinan, T.G. & Cryan, J.F. (2017). The microbiome-gut-brain axis in health and disease. Nature Reviews Gastroenterology & Hepatology.