• Skip to main content
Menuju Dua Garis
  • Home
  • About Us
  • Our Story
  • Articles
  • Services
  • Kata Mereka
  • Join Us
×
  • Home
  • About Us
  • Our Story
  • Articles
  • Services
  • Kata Mereka
  • Join Us

Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Pengaruh Pola Makan terhadap Kualitas Sperma: Tentang Western Diet sebagai Faktor Risiko Infertilitas Pria

August 27, 2025

Kualitas sperma dapat dipengaruhi secara positif maupun negatif oleh asupan nutrisi. Dampak tersebut bergantung pada kuantitas dan kualitas diet, meliputi kandungan kalori maupun profil makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Pola makan hiper-kalori dengan dominasi asam lemak jenuh serta trans-fat telah terbukti merugikan kualitas sperma, sedangkan pola makan sehat kaya serat, antioksidan, dan lemak tak jenuh berhubungan dengan perbaikan kualitas sperma.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa intervensi nutrisi, termasuk konsumsi molekul antioksidan, efektif dalam pencegahan dan pengelolaan infertilitas pria. Namun, meski bukti empiris semakin kuat, pengetahuan tentang mekanisme biokimia yang mendasari modulasi kualitas sperma masih terbatas. MDG kali ini membahas lebih dalam bagaimana meninjau efek pola makan terhadap bioenergetika sperma, dengan penekanan khusus pada Western diet sebagai faktor risiko infertilitas pria.

Diet dan Fertilitas Pria

Seiring meningkatnya westernisasi gaya hidup, pola makan Barat semakin mendominasi. Pola ini ditandai oleh tingginya konsumsi makanan olahan, kaya protein hewani, karbohidrat sederhana, serta lemak jenuh dan trans, namun miskin serat serta asam lemak esensial.

Beberapa penelitian mengaitkan Western diet dengan peningkatan risiko penyakit metabolik, aterosklerosis, kanker, neurodegenerasi, hingga infertilitas. Sebaliknya, pola makan Mediterania dengan dominasi sayuran, buah, serealia, kacang-kacangan, minyak zaitun, dan konsumsi moderat ikan menunjukkan manfaat signifikan bagi kesehatan reproduksi pria. Sementara itu, diet vegetarian, meski mirip dengan diet Mediterania, masih menimbulkan kontroversi terkait hubungannya dengan kualitas sperma.

Western Diet sebagai Faktor Risiko Infertilitas Pria

Pola makan Barat umumnya mengandung kadar gula dan lemak tinggi, yang mendorong ketidakseimbangan nutrisi dan kelebihan kalori. Kondisi ini berkontribusi terhadap obesitas, yang berimplikasi serius pada fungsi reproduksi pria. Lalu apa saja kira-kira?

  1. Gangguan Hormonal

Obesitas mengganggu keseimbangan aksis hipotalamus–hipofisis–gonad, memicu hipogonadisme dengan penurunan testosteron dan jumlah sperma. Penumpukan jaringan lemak juga meningkatkan aktivitas enzim aromatase yang mengubah testosteron menjadi estradiol, sehingga semakin menurunkan produksi sperma.

  1. Resistensi Insulin dan Stres Oksidatif

Obesitas sering disertai resistensi insulin dan hiperinsulinemia, yang mengganggu metabolisme glukosa pada sel sperma. Akibatnya, jalur glikolisis salah satu sumber utama produksi energi ATP pada sperma menjadi terhambat, menyebabkan penurunan motilitas sperma. Kondisi ini diperparah oleh peningkatan leptin dari jaringan adiposa, yang memicu peradangan testis serta produksi radikal bebas (ROS).

  1. Disfungsi Mitokondria

Mitokondria merupakan pusat bioenergetika sperma. Paparan stres oksidatif menyebabkan kerusakan lipid membran, protein, serta DNA mitokondria (mtDNA). Akibatnya, sintesis ATP menurun, memicu kelainan morfologi sperma, penurunan motilitas, hingga apoptosis sel germinal.

  1. Dislipidemia

Western diet juga berhubungan dengan profil lipid yang tidak sehat, termasuk hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia. Kondisi ini berkorelasi dengan penurunan kualitas semen, meski mekanisme spesifik masih dalam tahap penelitian.

Western diet berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas sperma melalui mekanisme kompleks, mulai dari gangguan hormonal, resistensi insulin, stres oksidatif, hingga disfungsi mitokondria. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa intervensi nutrisi memiliki peran sentral dalam menjaga fertilitas pria.

Memahami mekanisme biokimia yang mendasari hubungan antara nutrisi dan bioenergetika sperma akan menjadi dasar pengembangan strategi terapeutik yang lebih efektif, baik melalui modifikasi pola makan maupun suplementasi nutrien spesifik.

Sister dan paksu, ternyata apa yang kita makan sehari-hari punya pengaruh besar terhadap kualitas sperma dan peluang punya buah hati. Western diet yang serba praktis memang menggoda, tapi jika terlalu sering bisa menurunkan kualitas sperma lewat gangguan hormon, stres oksidatif, sampai masalah energi di dalam sel sperma sendiri.

Kabar baiknya, banyak penelitian menunjukkan kalau pola makan sehat kaya serat, antioksidan, lemak sehat, dan makanan segar justru bisa bantu memperbaiki kualitas sperma Jadi, perubahan kecil dalam pola makan sehari-hari bisa jadi langkah besar menuju impian dua garis.

Jangan lupa, jaga pola hidup sehat bersama pasangan: makan seimbang, cukup istirahat, olahraga rutin, dan kelola stres. Karena perjuangan ini bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal semangat dan kesabaran. Semoga perjalanan menuju dua garis selalu dipenuhi doa, usaha, dan harapan yang baik. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi

  • Ferramosca, A., & Zara, V. (2022). Diet and male fertility: the impact of nutrients and antioxidants on sperm energetic metabolism. International journal of molecular sciences, 23(5), 2542.

Mengenal PCOS: Gangguan Hormonal yang Sering Tak Disadari

August 26, 2025

 

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) menjadi salah satu gangguan hormonal yang cukup sering dialami perempuan usia reproduktif. Meski umum terjadi, kondisi ini masih sering kurang dikenali, jarang terdiagnosis, dan minim penelitian terutama di negara berkembang.

PCOS pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935. Hingga kini, PCOS dikenal sebagai penyebab utama hiperandrogenisme (kelebihan hormon androgen) dan oligo-ovulasi (ovulasi tidak teratur). Keduanya berperan besar terhadap masalah infertilitas pada perempuan.

Bagaimana PCOS Terjadi?

PCOS disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon seks yang memengaruhi fungsi ovarium. Akibatnya, folikel yang seharusnya berkembang menjadi sel telur matang justru berubah menjadi kista fungsional kantung berisi cairan yang membungkus sel telur. Kondisi ini menghambat pelepasan sel telur (ovulasi), sehingga peluang kehamilan menjadi lebih kecil.

Perempuan dengan PCOS bukan hanya menghadapi kesulitan untuk hamil, tetapi juga berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi saat kehamilan, seperti: Keguguran (miscarriage), Diabetes gestasional, Hipertensi dalam kehamilan, Preeklamsia. Karena kondisi tersebut, banyak perempuan dengan PCOS harus menjalani persalinan prematur atau operasi caesar.

Seberapa Banyak Perempuan yang Terkena PCOS?

Prevalensi PCOS bervariasi, tergantung kriteria diagnosis yang digunakan. Dengan Rotterdam Criteria, angka kejadian PCOS dilaporkan bisa serendah 1,6% hingga setinggi 18% bahkan dalam populasi yang sama.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 50–75% perempuan dengan PCOS tidak menyadari kondisinya. Mereka tetap hidup dengan gejala tanpa diagnosis yang jelas, padahal deteksi dini bisa sangat membantu dalam mencegah komplikasi jangka panjang.

Gejala yang Perlu Diwaspadai

Beberapa tanda dan gejala PCOS antara lain:

  • Siklus menstruasi tidak teratur atau jarang haid
  • Pertumbuhan rambut berlebih (hirsutisme)
  • Jerawat membandel
  • Berat badan berlebih atau obesitas
  • Kesulitan hamil

Karena PCOS sangat kompleks, penanganannya tidak bisa satu arah. Perawatan biasanya mencakup:

  • Perubahan gaya hidup sehat (diet seimbang, olahraga teratur, manajemen berat badan)
  • Pendekatan medis seperti obat penyubur atau pengaturan hormon
  • Dukungan mental dan psikologis, karena PCOS sering berdampak pada kualitas hidup
  • Teknologi reproduksi berbantu bila dibutuhkan


PCOS adalah kondisi kompleks yang memengaruhi kesuburan, kesehatan metabolik, hingga kualitas hidup perempuan. Karena banyak kasus tidak terdiagnosis, penting bagi perempuan untuk lebih mengenali tanda-tandanya dan melakukan pemeriksaan sejak dini. Penanganan yang tepat, baik dengan gaya hidup sehat maupun terapi medis, dapat membantu sister dengan PCOS tetap memiliki peluang besar untuk hamil dan hidup sehat.

Referensi

  • Bai, H., Ding, H., & Wang, M. (2024). Polycystic ovary syndrome (PCOS): symptoms, causes, and treatment. Clinical and Experimental Obstetrics & Gynecology, 51(5), 126.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Inseminasi Intrauterin (IUI)

August 26, 2025

 

Infertilitas merupakan masalah kesehatan reproduksi yang memengaruhi sekitar 12–18%. Dari kasus tersebut, sekitar 20% disebabkan oleh faktor pria saja, sedangkan 30–40% merupakan kombinasi faktor pria dan wanita.

Salah satu metode reproduksi berbantu yang sering digunakan adalah inseminasi intrauterin (IUI). Teknik ini banyak direkomendasikan pada pasangan dengan infertilitas akibat faktor pria ringan, anovulasi, endometriosis, maupun infertilitas yang tidak terjelaskan. Sebaliknya, untuk kasus infertilitas akibat faktor pria berat, umumnya lebih disarankan in vitro fertilization (IVF).

Keberhasilan IUI 

Keberhasilan IUI dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi diagnosis infertilitas, parameter semen, serta regimen stimulasi ovarium. Artikel ini meninjau bukti terkini mengenai faktor paternal, maternal, dan siklus yang memengaruhi luaran IUI, yaitu clinical pregnancy rate (CPR), live birth rate (LBR), angka keguguran spontan, kehamilan ektopik, serta angka kehamilan ganda.

Faktor Paternal dan Parameter Semen

  1. Total Motile Count (TMC)

    • Sebagian besar studi menunjukkan keberhasilan IUI lebih tinggi bila TMC >5–10 juta.

    • Pada TMC <5 juta, tingkat kehamilan menurun drastis, sehingga IVF lebih disarankan.

  2. Post-wash Sperm Count

    • Ambang minimal yang umum digunakan adalah >1 juta sperma setelah pencucian.

    • Tingkat kehamilan meningkat hingga jumlah 4 juta, namun tidak ada keuntungan tambahan di atas angka tersebut.

  3. DNA Fragmentation Index (DFI)

    • DFI >30% dianggap abnormal.

    • Data mengenai pengaruhnya terhadap hasil IUI masih kontradiktif. Studi besar terbaru menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna dalam angka kehamilan, meskipun DFI tinggi dapat meningkatkan risiko keguguran.

  4. Usia Ayah

    • Efek usia paternal tidak konsisten. Beberapa penelitian menemukan penurunan keberhasilan pada pria >35–40 tahun, namun studi lain menunjukkan pengaruh minimal setelah dikontrol dengan usia ibu.

  5. Indeks Massa Tubuh (BMI) Paternal

    • Obesitas pria berhubungan dengan penurunan volume semen, konsentrasi, TMC, dan morfologi.

    • Risiko infertilitas meningkat bila kedua pasangan memiliki BMI ≥30.

IUI memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi bila jumlah sperma motil total (TMC) melebihi 5 juta dan jumlah sperma motil pasca pencucian (post-wash) lebih dari 1 juta. Faktor seperti usia ayah yang lebih lanjut dan obesitas dapat menjadi risiko yang menurunkan keberhasilan, sedangkan kerusakan DNA sperma (DFI) hingga kini belum terbukti secara konsisten berpengaruh terhadap hasil IUI.

Faktor Maternal

  1. Usia

    • Usia merupakan faktor paling penting.

    • Tingkat kehamilan per siklus pada wanita <40 tahun berkisar 11–18%, sedangkan pada usia ≥40 tahun menurun drastis menjadi 4–7%.

    • Pada wanita usia 38–42 tahun, IVF lebih efektif dibanding IUI.

  2. BMI

    • Obesitas meningkatkan kebutuhan obat stimulasi, namun tidak secara signifikan menurunkan angka kehamilan pada IUI.

    • Status underweight dapat mengganggu ovulasi dan meningkatkan risiko bayi kecil untuk usia kehamilan, sehingga perlu ditangani sebelum terapi.

  3. Ras/Etnis

    • Terdapat disparitas akses layanan infertilitas pada kelompok minoritas.

    • Studi menunjukkan perempuan kulit hitam dan kelompok etnis lain mengalami infertilitas lebih lama sebelum mendapatkan perawatan.

    • Beberapa penelitian melaporkan penurunan angka kelahiran hidup pada kelompok tertentu, meskipun data masih terbatas.

  4. Diagnosis Infertilitas

    • Ovulatory dysfunction: tingkat keberhasilan tertinggi (hingga 65–84% setelah beberapa siklus).

    • Unexplained infertility dan cervical factor: tingkat kehamilan moderat (sekitar 38–55%).

    • Endometriosis: keberhasilan tergantung stadium. Stadium I–II masih bisa diatasi dengan IUI, tetapi stadium III–IV memiliki angka kehamilan rendah (5–11%) sehingga IVF lebih dianjurkan.

    • Tubal factor: tingkat keberhasilan terendah (20–26%), dan biasanya hanya berhasil pada dua siklus pertama.

Faktor Siklus

  1. Regimen Stimulasi

    • Letrozole vs Clomiphene Citrate (CC): hasil kehamilan serupa, namun letrozole lebih disukai untuk wanita obesitas dengan PCOS.

    • Gonadotropin: meningkatkan risiko kehamilan ganda, sehingga tidak direkomendasikan sebagai pilihan utama.

  2. Pemicu Ovulasi (Trigger vs Spontaneous Surge)

    • Keberhasilan sama baiknya apakah IUI dilakukan setelah ovulasi alami maupun dengan pemicu hCG.

  3. Jumlah Siklus IUI

    • Sebagian besar kehamilan terjadi dalam 3–4 siklus pertama.

    • Setelah 4 siklus gagal, sebaiknya pasangan dipertimbangkan untuk beralih ke IVF.

IUI merupakan pilihan terapi lini pertama pada infertilitas akibat anovulasi, faktor pria ringan, endometriosis stadium awal, dan infertilitas yang tidak terjelaskan.

Keberhasilan IUI dipengaruhi oleh:

  • Faktor paternal: TMC >5 juta, post-wash count >1 juta, obesitas dan usia lanjut pria dapat mengurangi hasil.

  • Faktor maternal: usia <38–40 tahun, diagnosis ovulatory dysfunction, dan kondisi BMI normal meningkatkan peluang.

  • Faktor siklus: pemilihan regimen stimulasi yang tepat (letrozole/CC lebih aman dibanding gonadotropin) dan batas maksimal 3–4 siklus sebelum beralih ke IVF.

Sister dan paksu, bisa kita simpulkan kalau peluang berhasilnya IUI itu bukan cuma soal teknis medis, tapi juga dipengaruhi banyak faktor mulai dari jumlah sperma yang cukup setelah proses wash, sampai kondisi kesehatan seperti usia dan berat badan. Sementara itu, faktor seperti DNA Fragmentation Index (DFI) masih belum terbukti konsisten pengaruhnya. Jadi, memahami hal-hal ini penting banget supaya langkah promil yang diambil lebih tepat dan peluang dua garis bisa makin besar. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi

Starosta, A., Gordon, C. E., & Hornstein, M. D. (2020). Predictive factors for intrauterine insemination outcomes: a review. Fertility research and practice, 6(1), 23.

Analisis Semen dan WHO Laboratory Manual Edisi ke-6: Perubahan, Tantangan, dan Prospeknya

August 25, 2025

 

Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai kehamilan spontan dalam waktu satu tahun setelah berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi. Kondisi ini memengaruhi sekitar 48 juta pasangan dan 186 juta individu di seluruh dunia. Diperkirakan satu dari delapan pasangan usia reproduksi mengalami infertilitas, dengan faktor pria sebagai penyebab tunggal pada 20% kasus dan berkontribusi pada 30% kasus lainnya. Artinya, faktor pria berperan dalam hampir 50% pasangan infertil.

Dalam beberapa dekade terakhir, kekhawatiran meningkat terhadap penurunan konsentrasi sperma secara global. Faktor gaya hidup seperti obesitas, paparan bahan kimia lingkungan, dan radiasi turut dianggap berkontribusi. Oleh karena itu, analisis semen menjadi pemeriksaan dasar yang sangat penting dalam evaluasi infertilitas pria.

Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1980, WHO Laboratory Manual for the Examination and Processing of Human Semen telah menjadi acuan global dalam standarisasi prosedur analisis semen. Setelah melewati lima edisi, edisi keenam akhirnya dirilis pada Juli 2021. Artikel ini meninjau perubahan kunci dalam edisi terbaru, serta menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT) dari implementasinya di praktik klinis.

Perkembangan Historis Manual WHO

Edisi kelima yang terbit pada tahun 2010 berfokus pada standarisasi prosedur analisis semen melalui panduan langkah demi langkah, termasuk tes dasar dan opsional. Manual ini juga memperkenalkan pedoman tentang kriopreservasi, pemrosesan sperma testikular dan epididimal, serta protokol jaminan kualitas.

Salah satu kontribusi penting edisi kelima adalah penetapan nilai rujukan (reference values) berdasarkan data pria subur dari delapan negara. Namun, edisi ini menuai kritik karena dianggap tidak merepresentasikan populasi global secara memadai. Variasi biologis antarindividu dan keterbatasan laboratorium dalam menerapkan kontrol kualitas menimbulkan keraguan terhadap validitas nilai rujukan tersebut.

Edisi keenam hadir sebagai respons terhadap berbagai kritik sebelumnya sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan terbaru dalam ilmu reproduksi. Dibanding edisi sebelumnya, panduan ini menawarkan standar prosedur yang lebih detail dan ketat, menambahkan biomarker baru seperti sperm DNA fragmentation (SDF) dan oxidative stress (OS), serta didukung oleh data populasi yang jauh lebih luas dan representatif. Meski begitu, masih ada beberapa kelemahan, seperti keterwakilan wilayah dunia yang belum merata, ketiadaan angka pasti dalam konsep decision limits yang bisa membingungkan klinisi dalam praktik sehari-hari, serta variasi antar laboratorium yang tetap menjadi tantangan dalam penerapan.

Di sisi lain, edisi terbaru ini membuka peluang besar, mulai dari pengembangan tes fertilitas pria berbasis biomarker molekuler, penelitian lebih lanjut di bidang genetika dan epigenetika sperma, hingga penguatan sistem jaminan kualitas laboratorium secara global. Namun, ancaman juga perlu diperhatikan, misalnya risiko kebingungan akibat hilangnya ambang rujukan yang jelas, kesenjangan akses di negara berkembang karena keterbatasan fasilitas, serta resistensi dari praktisi yang sudah terbiasa dengan metode lama.

Secara keseluruhan, WHO Laboratory Manual edisi keenam menjadi langkah penting dalam evolusi analisis semen dengan metodologi yang diperkuat, cakupan data global yang lebih luas, dan penambahan parameter baru seperti SDF dan OS. Perubahan yang paling menonjol adalah pergeseran dari konsep reference values ke decision limits, meski konsep ini masih memerlukan penyempurnaan lebih lanjut. Analisis SWOT menunjukkan potensi besar manual ini dalam meningkatkan kualitas evaluasi infertilitas pria di seluruh dunia, tetapi tanpa kejelasan batas keputusan dan peningkatan akses laboratorium, penerapannya belum bisa optimal.

Referensi

  • Boitrelle, F., Shah, R., Saleh, R., Henkel, R., Kandil, H., Chung, E., … & Agarwal, A. (2021). The sixth edition of the WHO manual for human semen analysis: a critical review and SWOT analysis. Life, 11(12), 1368.

Gaya Hidup dan Stres: Faktor Penting dalam Kesuburan Pria

August 25, 2025

Infertilitas tidak hanya menjadi masalah perempuan, tetapi juga pria. Diperkirakan sekitar 50% kasus infertilitas pada pasangan disebabkan oleh faktor dari pihak pria, terutama akibat gangguan pada proses spermatogenesis atau pembentukan sperma.

Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli mulai memberi perhatian lebih pada faktor gaya hidup yang dapat diubah (modifiable lifestyle factors) karena terbukti berperan besar dalam menurunkan kualitas sperma. Yuk pelajari lebih lanjut!

Faktor Infertilitas pada Pria

  • Penuaan yang memengaruhi fungsi reproduksi
  • Stres psikologis baik dari pekerjaan, kehidupan sehari-hari, maupun peristiwa besar seperti bencana atau konflik
  • Pola makan yang tidak sehat
  • Kurangnya aktivitas fisik atau olahraga berlebihan
  • Konsumsi kafein berlebihan
  • Paparan panas berlebih di area skrotum (misalnya penggunaan air panas terlalu sering atau pakaian terlalu ketat)
  • Paparan radiasi dari telepon genggam

Stres dan Kualitas Sperma

Bahkan dalam sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stres psikologis memiliki dampak langsung pada kualitas sperma. Tekanan mental yang dialami seorang pria, baik karena masalah pribadi maupun pasangan, dapat memengaruhi hormon reproduksi dan akhirnya menurunkan kemampuan sperma untuk membuahi sel telur.

Selain stres, gaya hidup sehari-hari juga sangat menentukan. Pola makan yang tidak seimbang, kurang tidur, aktivitas fisik yang minim, hingga kebiasaan seperti merokok dan minum alkohol dapat memperburuk kondisi infertilitas. Bahkan, suhu skrotum yang terlalu tinggi misalnya karena sering berendam air panas atau penggunaan laptop di pangkuan dalam waktu lama diketahui dapat menurunkan jumlah dan kualitas sperma.

Pentingnya Perubahan Gaya Hidup

Penurunan kesuburan pria akibat gaya hidup dan faktor lingkungan kini dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius di abad ini. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya komprehensif untuk mencegah infertilitas, misalnya melalui:

  • Edukasi dan peningkatan kesadaran tentang pentingnya kesehatan reproduksi
  • Perbaikan pola makan dengan nutrisi seimbang
  • Aktivitas fisik yang teratur dan sesuai
  • Dukungan psikologis untuk mengurangi stres
  • Penggunaan nutraseutikal atau antioksidan yang terbukti dapat membantu kualitas sperma

Infertilitas pria bukanlah takdir semata, tetapi sering kali berhubungan erat dengan gaya hidup yang bisa diubah. Dengan menerapkan pola hidup sehat, menjaga kesehatan mental, serta menghindari faktor risiko yang merugikan, pasangan dapat meningkatkan peluang untuk hamil secara alami maupun melalui program medis. Lebih dari sekadar kehamilan, perubahan gaya hidup ini juga akan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasangan di masa depan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi

  • Ilacqua, A., Izzo, G., Emerenziani, G. P., Baldari, C., & Aversa, A. (2018). Lifestyle and fertility: the influence of stress and quality of life on male fertility. Reproductive Biology and Endocrinology, 16(1), 115.

IUI atau IVF untuk Infertilitas Tak Terjelaskan: Mana yang Sebaiknya Jadi Pilihan Pertama?

August 23, 2025

 

Kadang, baik paksu maupun sister yang sudah mencoba berbagai cara untuk hamil, hasil pemeriksaannya normal, tapi kehamilan tetap belum terjadi. Kondisi ini dikenal dengan istilah infertilitas tak terjelaskan (unexplained infertility). Diperkirakan sekitar 1 dari 4 kasus infertilitas termasuk kategori ini.

Saat mendengar diagnosis ini, wajar jika pasangan langsung mencari tahu pilihan pengobatan yang bisa membantu, mulai dari inseminasi buatan (IUI) hingga bayi tabung (IVF). Namun, muncul satu pertanyaan penting: mana yang sebaiknya dilakukan terlebih dahulu, IUI atau IVF?

Di dunia medis, ternyata belum ada pandangan yang seragam. Misalnya, panduan dari National Institute for Health and Care Excellence (NICE) di Inggris lebih cenderung merekomendasikan IVF sebagai langkah awal. Sebaliknya, panduan terbaru dari European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE, 2023) justru menempatkan IUI sebagai pilihan pertama sebelum beralih ke IVF.

Perbedaan pandangan ini bikin banyak pasangan bingung: sebaiknya mulai dari IUI atau langsung IVF?

Melihat Kelebihan dan Kekurangannya

IUI (Intrauterine Insemination)

  • Prosedurnya lebih sederhana dibanding IVF.
  • Biayanya lebih terjangkau.
  • Bisa meningkatkan peluang hamil dibanding hanya menunggu alami, terutama jika dikombinasikan dengan stimulasi ovarium.
  • Namun, tingkat keberhasilannya biasanya lebih rendah daripada IVF, terutama pada perempuan dengan usia di atas 38 tahun.

IVF (In Vitro Fertilisation)

  • Prosesnya lebih kompleks: sel telur diambil, dibuahi di laboratorium, lalu embrio ditanam kembali ke rahim.
  • Tingkat keberhasilannya lebih tinggi, khususnya pada perempuan yang usianya lebih matang.
  • Biayanya jauh lebih besar dan prosesnya lebih melelahkan secara fisik maupun emosional.

Jadi, Mana yang Sebaiknya Dipilih?

Tidak ada jawaban tunggal, karena semua kembali pada kondisi tiap pasangan.

  • Usia <38 tahun dan kondisi baik: IUI bisa jadi langkah pertama yang masuk akal. Lebih ringan, lebih murah, dan tetap memberikan peluang.
  • Usia >38 tahun atau faktor risiko lain: IVF mungkin lebih bijak dipertimbangkan lebih awal agar peluang kehamilan lebih besar.

Yang paling penting, setiap pasangan perlu konseling menyeluruh dengan dokter, supaya paham kelebihan, kekurangan, serta peluang dari masing-masing metode sebelum mengambil keputusan.

Infertilitas tak terjelaskan memang sering membuat pasangan merasa “bingung tanpa jawaban pasti”. Tapi kabar baiknya, ada beberapa pilihan intervensi medis yang bisa membantu. Apakah memulai dengan IUI atau langsung ke IVF, semuanya harus disesuaikan dengan usia, kondisi kesehatan, serta kesiapan mental dan finansial pasangan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Referensi

  • Man, J. K. Y., Parker, A. E., Broughton, S., Ikhlaq, H., & Das, M. (2023). Should IUI replace IVF as first-line treatment for unexplained infertility? A literature review. BMC Women’s Health, 23(1), 557.

Ukuran Folikel Ideal untuk Program IUI: Kenapa Ukuran Folikel Penting?

August 22, 2025

 

Dalam program inseminasi intrauterin (IUI), keberhasilan sangat dipengaruhi oleh waktu yang tepat. Salah satu indikator utama adalah ukuran folikel, yaitu kantung kecil berisi sel telur di dalam ovarium. Folikel yang matang akan melepaskan sel telur (ovulasi), dan momen inilah yang menjadi target saat inseminasi dilakukan. Lalu apa yang dapat dilakukan? yuk pelajari lebih lanjut!

Suntikan HCG vs Ovulasi Alami

Dalam praktiknya, ada dua cara memicu ovulasi diantaranya adalah dengan suntikan HCG (human chorionic gonadotropin), yang berfungsi merangsang pelepasan sel telur. yang ke-dua adalah Dengan ovulasi alami, ketika tubuh sendiri yang menghasilkan lonjakan hormon LH untuk memicu ovulasi. 

Ada sebuah penelitian membandingkan kedua kondisi ini untuk melihat ukuran folikel yang paling pas saat inseminasi

Temuan penelitian menunjukkan:

  • Folikel dengan ukuran 16–18 mm justru memberikan peluang terbaik untuk kehamilan, bukan folikel yang lebih besar.
  • Kehadiran lebih dari satu folikel matang juga meningkatkan peluang berhasil dibandingkan hanya satu folikel saja.
  • Faktor lain, seperti lama infertilitas pasangan, tetap memengaruhi hasil program.

Apa Artinya untuk Pasangan Promil?

Kalau folikel sudah berada di ukuran 14–18 mm dan terjadi lonjakan LH alami, siklus IUI tidak perlu dibatalkan. Justru, ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk melanjutkan program. Jadi, jangan terlalu terpaku menunggu folikel terlihat sangat besar, karena kualitas dan timing lebih penting daripada sekadar ukuran.

Setiap tubuh punya respons berbeda terhadap obat kesuburan maupun ovulasi alami. Karena itu, diskusi dengan dokter tetap menjadi kunci agar strategi IUI bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasangan.

Dari hasil pembahasan, bisa disimpulkan bahwa ukuran folikel ternyata punya peran penting dalam menentukan peluang kehamilan lewat IUI dengan bantuan obat letrozole dan HMG. Folikel yang terlalu besar justru tidak selalu memberi hasil terbaik, sementara ukuran yang lebih ideal justru ada di kisaran 16–18 mm. Bahkan, ketika terjadi lonjakan hormon LH secara alami, folikel yang ukurannya sedikit lebih kecil tetap bisa memberi peluang baik untuk hamil. 

Artinya, untuk sister dan paksu yang sedang menjalani program IUI tidak perlu khawatir jika ukuran folikel belum terlalu besar, karena yang terpenting adalah menemukan waktu yang paling tepat untuk proses inseminasi. Jangan lupa untuk follow Instagram @menujudugaris.id 

Referensi

  • Chen, L., Jiang, S., Xi, Q., Li, W., Lyu, Q., & Kuang, Y. (2023). Optimal lead follicle size in letrozole human menopausal gonadotrophin intrauterine insemination cycles with and without spontaneous LH surge. Reproductive BioMedicine Online, 46(3), 566-576.

PCOS dan Kesuburan: Apa Terapi yang Tepat?

August 21, 2025

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah gangguan hormonal yang paling sering dialami perempuan usia reproduktif, dengan prevalensi sekitar 5–10%. Salah satu dampak paling umum dari PCOS adalah anovulasi, yaitu kondisi ketika sel telur tidak dilepaskan secara teratur. Tidak heran, sekitar 70–80% perempuan dengan anovulasi ditemukan mengalami PCOS.

Namun, PCOS bukan hanya soal kesuburan. Banyak perempuan dengan PCOS juga menghadapi masalah lain, seperti obesitas, sindrom metabolik, gangguan kesehatan mental, hingga penurunan kualitas hidup. Oleh karena itu, penanganan PCOS terutama yang terkait dengan subfertilitas idealnya dilakukan dengan pendekatan multidisipliner.

MDG kali ini akan membahas lebih detail apa saja sih opsi terapi kesuburan pada PCOS, mulai dari intervensi gaya hidup, terapi obat, hingga teknologi reproduksi berbantu.

Pendekatan untuk PCOS ada Apa Saja Sih?

PCOS tidak hanya memengaruhi kesuburan, tetapi juga meningkatkan risiko jangka panjang seperti diabetes, penyakit jantung, dan gangguan psikologis. Untuk itu tidak hanya pendekatan yang praktis karena pendekatannya harus multidisplin. Karena dengan pendekatan multidisipliner, dokter sister dan paksu dapat:

  1. Melakukan penilaian risiko pra-kehamilan.
  2. Mengoptimalkan kesehatan sebelum terapi.
  3. Meningkatkan kualitas hidup (HQoL).
  4. Meminimalkan komplikasi jangka panjang.

Nah langkah tersebut dapat melalui dokter umum atau obgyn, lalu pasien bisa dirujuk ke spesialis gizi, psikolog, atau endokrinolog sesuai kebutuhan.

Intervensi Non-Farmakologis

Manajemen Berat Badan Sekitar 40–60% perempuan dengan PCOS mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Kondisi ini memperburuk resistensi insulin dan hiperandrogenisme ovarium, yang akhirnya memperparah gejala seperti haid tidak teratur, hirsutisme (pertumbuhan rambut berlebih), hingga infertilitas. Manfaat penurunan berat badan pada PCOS:

  1. Penurunan kadar testosteron dan indeks androgen bebas.
  2. Peningkatan SHBG (sex hormone-binding globulin).
  3. Perbaikan profil lipid dan metabolik.
  4. Peningkatan kesehatan mental.

Strateginya bisa melalui diet, olahraga, dan terapi perilaku, langkah selanjutnya adalah modifikasi gaya hidup, dimana riset menunjukkan olahraga intensitas sedang selama 150 menit/minggu dapat memperbaiki siklus haid, meningkatkan ovulasi, serta menurunkan resistensi insulin 9–30%.
Untuk menurunkan berat badan, direkomendasikan 250 menit/minggu aktivitas sedang atau 150 menit/minggu intensitas tinggi, ditambah latihan kekuatan 2 kali/minggu. Caranya bagaimana salah satunya melalui diet, diantaranya ada:

  1. Pola makan rendah kalori, rendah indeks glikemik, tinggi serat, dan kaya protein membantu meningkatkan sensitivitas insulin.
  2. Diet rendah karbohidrat terbukti memperbaiki siklus haid, kadar lipid, serta menurunkan risiko diabetes dan penyakit jantung.
  3. Defisit energi sekitar 500–750 kkal/hari (setara 1200–1500 kkal/hari) direkomendasikan untuk penurunan berat badan.

Terapi Perilaku & Kesehatan Mental

Selain itu sister yang menghadapi PCOS dapat aware jika kesehatan metal itu sangat penting salah satunya dapat melalukan: 

  1. PCOS sering berdampak pada citra tubuh dan kesehatan mental. Prevalensi depresi pada PCOS 3–8 kali lebih tinggi dibanding populasi umum.
  2. Terapi kognitif-perilaku (CBT), psikoterapi, dan pengobatan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup.
  3. Studi juga menunjukkan olahraga rutin, seperti brisk walking, dapat mengurangi distress terkait citra tubuh, bahkan tanpa penurunan BMI yang signifikan.

Pemilihan terapi dilakukan secara bertahap (stepwise), mulai dari yang paling sederhana hingga intervensi yang lebih kompleks, sesuai kondisi pasien.

PCOS adalah penyebab utama anovulasi dan infertilitas pada perempuan. Namun, terapi kesuburan tidak bisa hanya fokus pada ovulasi. Diperlukan pendekatan yang lebih luas, mencakup manajemen berat badan, perbaikan pola hidup, dukungan psikologis, hingga penggunaan teknologi reproduksi jika diperlukan.

Dengan perawatan multidisipliner yang tepat, perempuan dengan PCOS tidak hanya berpeluang lebih besar untuk hamil, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup serta mencegah komplikasi jangka panjang.

Referensi

  • Sawant, S., & Bhide, P. (2019). Fertility treatment options for women with polycystic ovary syndrome. Clinical Medicine Insights: Reproductive Health, 13, 1179558119890867.
  • « Previous
  • 1
  • …
  • 8
  • 9
  • 10
  • 11
  • 12
  • …
  • 57
  • Next »
ayo-gabung-mdg

Tentang MDG

Menuju Dua Garis merupakan komunitas yang dibentuk oleh Rosiana Alim, atau akrab disapa Mizz Rosie untuk berbagi kisah perjuangan hidupnya dalam menantikan buah hati serta mewadahi para wanita yang sedang berjuang menghadapi infertilitas dan menantikan kehadiran buah hati.

Join Komunitas MDG

Join Komunitas

Follow Social Media Kami

© 2025 Menuju Dua Garis. All Rights Reserved.