Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Takeover MDG Channel bersama dr. Ali Mahmud, Sp.OG(K) FER
PCOS atau Polycystic Ovary Syndrome merupakan salah satu kondisi yang cukup sering ditemui pada pasien yang sedang menjalani program hamil. Tapi banyak yang masih bingung apakah bisa hamil secara alami? Harus IVF? Atau menunggu siklus tertentu?
Dalam sesi tanya-jawab bersama dr. Ali Mahmud, Sp.OG(K) FER, berikut rangkuman jawaban dari berbagai pertanyaan yang sering diajukan para pejuang dua garis:
Apakah PCOS Berpengaruh Terhadap Keberhasilan FET (Frozen Embryo Transfer)?
Jawabannya: ya, sangat berpengaruh, terutama jika disertai obesitas atau masalah metabolik lainnya. Karena itu, sebelum FET disarankan:
- Menurunkan berat badan (jika overweight)
- Rutin berolahraga
- Menjalani pola hidup sehat
- Mendapatkan terapi medis yang sesuai
Langkah-langkah ini dapat meningkatkan keberhasilan implantasi embrio pada pasien PCOS.
Kalau BMI Normal, Masih Perlu Turunkan Berat Badan?
“BB saya 53 kg, TB 156 cm (BMI 21.8 – normal), tapi saya PCOS. Apa tetap harus turunkan berat badan 5%?”
Penjelasan dokter:
- Jika BMI sudah ideal, tidak perlu turunkan berat badan lagi.
- Namun tetap penting untuk menjaga agar IMT tidak naik.
- Lakukan pemeriksaan AMH untuk mengetahui cadangan sel telur.
- Ajak pasangan untuk konsultasi juga ke dokter andrologi, karena faktor kesuburan pria juga penting dalam promil.
Bagaimana Menebalkan Dinding Rahim pada Pasien PCOS?
“Saya sedang promil alami. Ada sel telur besar, tapi dinding rahim masih tipis. Apa yang harus dilakukan?”
Biasanya dokter akan memberikan obat hormonal tertentu untuk membantu menebalkan endometrium (dinding rahim).
Jika waktunya tidak memungkinkan, siklus akan diulang dengan penyesuaian obat yang lebih tepat.
PCOS Sudah Menikah Lama Tapi Belum Punya Anak Sehat—Apa Langkah Selanjutnya?
“Saya PCOS, menikah 9 tahun. Anak pertama meninggal karena kelainan, kehamilan kedua BO. Kenapa bisa begitu?”
Pasien PCOS memang bisa hamil, tapi kualitas kehamilan bisa terganggu. Risiko seperti keguguran atau kelainan janin bisa lebih tinggi.
Sebaiknya segera konsultasi ke dokter fertilitas. Bila memungkinkan secara finansial, program IVF sangat direkomendasikan, mengingat usia pernikahan sudah cukup lama dan belum mendapatkan keturunan yang sehat.
Program Apa yang Paling Efektif untuk Pasien PCOS?
Program dengan tingkat keberhasilan paling tinggi adalah IVF (bayi tabung).
Namun, promil lain seperti program alami atau inseminasi (IUI) masih memungkinkan, tergantung berat ringannya PCOS dan hasil evaluasi medis. Konsultasi menyeluruh sangat penting untuk menentukan langkah terbaik.
Artikel ini merupakan rangkuman dari sesi tanya-jawab di MDG Channel bersama dr. Ali Mahmud, Sp.OG(K) FER. Untuk rekomendasi dan penanganan sesuai kondisi pribadi, silahkan konsultasi langsung ke klinik fertilitas terpercaya.

Pertanyaan:
Halo dokter, saya mau tanya. Kalau suami saya spermanya 99% abnormal, apakah sebaiknya kami memperbaiki sperma dulu sebelum menjalani IVF, atau langsung IVF saja?
Jawaban dr. Uning Marlina, MHSM, Sp.OG:
Sebelum saya jawab, saya mau tanya balik dulu ya, sister
Tujuan programnya ini untuk punya anak, atau ingin memperbaiki kualitas sperma?
Karena, meskipun 99% sperma suami tidak normal dan hanya 1% yang normal, tetap ada kemungkinan untuk hamil, lho! Bahkan pasien yang azoospermia (tidak ditemukan sperma dalam pemeriksaan biasa) pun masih bisa punya anak.
Jadi kalau ada gangguan sperma, fokus utamanya adalah ingin program hamil, bukan sekadar menormalkan sperma.
Langkahnya nanti akan disesuaikan dengan kondisi sperma—mau lewat inseminasi (inseminasi intrauterin) atau IVF (bayi tabung). Tetap perlu kerja sama juga dengan dokter andrologi untuk mengoptimalkan sperma yang ada. Tapi tujuannya jelas: untuk mendukung program hamil, bukan sekadar mengejar hasil sperma yang “sempurna”.
Banyak pasangan yang terlalu fokus memperbaiki sperma hingga habis banyak biaya, tapi belum masuk ke program hamil sama sekali. Padahal, inseminasi atau IVF adalah langkah yang lebih tepat untuk menangani masalah sperma.
Jadi, saran saya: segera ke klinik IVF. Di sana, tim dokter akan membantu mengelola kondisi suami dan mempersiapkan IVF dengan optimalisasi sperma yang ada.
Semoga segera dipertemukan dengan dua garis birunya ya, sister dan paksu!
Kalau Embrio Gagal Menempel Setelah FET, Apa Penyebabnya?
Pertanyaan:
Bagaimana cara embrio bisa menempel setelah FET (frozen embryo transfer) pada pasien dengan unexplained infertility? Apakah banyak kasus seperti ini?
Jawaban dr. Uning Marlina, MHSM, Sp.OG:
Pertanyaan ini bagus sekali dan sering mewakili kegelisahan para pejuang dua garis yang sudah menjalani IVF, tapi belum berhasil juga.
Ibarat menanam biji mangga kadang tumbuh, kadang tidak. Kenapa bisa gagal menempel? Bisa dari bibit (embrio) atau dari tanahnya (rahim).
Kalau dari embrionya, kualitas menjadi faktor penting. Untuk pasien yang sudah berulang kali gagal IVF, dokter biasanya akan menyarankan pemeriksaan PGTA untuk mengecek apakah embrionya benar-benar layak tanam atau tidak.
Kalau dari sisi rahim, banyak faktor juga:
- Kondisi hormon
- Aliran darah
- Adanya penyakit atau gangguan imunologi
- Status gizi
- Dan faktor “kegemburan” rahim lainnya yang kadang tidak kasatmata
Biasanya, sebelum siklus IVF berikutnya, dokter akan lakukan evaluasi dulu:
“Kenapa ya kira-kira kemarin belum berhasil?”
Lalu, akan dicoba pendekatan atau metode lain pada siklus berikutnya.
Memang, unexplained infertility adalah salah satu tantangan terbesar, karena kita tidak tahu pasti penyebab kegagalannya. Tapi jangan putus harapan. Meski sudah usaha maksimal dan mencoba berbagai cara, ingat ada bagian yang tetap menjadi rahasia Tuhan.
Materi ini disadur dari sesi tanya jawab bersama dr. Uning Marlina, MHSM, Sp.OG. Untuk penilaian kondisi secara spesifik, silakan konsultasikan langsung ke klinik fertilitas terpercaya. Untuk informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id

Surabaya, 2025 Dalam ajang Ideafest Surabaya 2025, kisah penuh makna dari para pejuang dua garis hadir menyentuh hati. Mizz Rosie dan Chef Ken, dua sosok di balik komunitas Menuju Dua Garis (MDG), berbagi cerita perjuangan mereka dalam menghadapi infertilitas dan stigma sosial yang menyertainya. Mereka tidak sendiri hadir pula Astrid Regina Sapiie (psikolog klinis & CEO DearAstrid), serta Chitra Astriana (entrepreneur) sebagai moderator dalam sesi ini.
Cerita Dimulai di Titik Nol
Mizz Rosie dan Chef Ken berbagi tentang hari pertama mereka menyandang identitas sebagai pasangan pejuang dua garis. Di tengah perjuangan untuk memiliki keturunan, mereka juga harus menghadapi pandangan miring dari masyarakat. Chef Ken, yang kala itu menjadi finalis sebuah acara, bahkan sempat mengalami pengalaman tidak menyenangkan saat berada di rumah sakit dicap, dinilai, tanpa empati.
Di sinilah “day one” mereka dimulai. Sebuah hari yang penuh emosi, marah, kecewa, namun justru menjadi batu loncatan menuju kedewasaan dan ketangguhan.
Proses yang Membentuk
Melalui waktu dan rasa saling percaya, Mizz Rosie akhirnya meminta izin kepada Chef Ken untuk membuka kisah mereka ke publik. “Ibarat seorang ayah melihat istri sebagai anak yang akhirnya tumbuh menjadi dewasa,” ungkapnya menyentuh.
Tak ada dokter, tak ada protokol medis rumit di sesi ini. Hanya kisah nyata, tentang bagaimana sebuah pasangan belajar untuk bertahan, mendewasa bersama, dan saling menopang satu sama lain. Bahwa menjadi pejuang dua garis bukan hanya tentang hamil tapi tentang harapan dan pilihan untuk tidak menyerah.
Psikologi Tentang Dibalik Ketangguhan
Bu Astrid, sebagai psikolog, menyampaikan bahwa ada tiga sisi penting yang membentuk resiliensi pasangan:
- Budaya dan stigma masyarakat: Ketimpangan gender yang melekatkan makna “perempuan sempurna” dengan keharusan punya anak.
- Resiliensi bukan bawaan lahir: Tapi kemampuan yang bisa dibangun. Seperti bola makin dibanting, makin keras pantulannya.
- Stress coping dan kepedulian: Resiliensi terlihat ketika seseorang masih bisa peduli pada orang lain, bahkan dalam masa sulit.
Belajar Bertahan dan Menjadi Lebih Baik
Selain dari sisi psikologi, hal tersebut juga berdampak pada pernikahan, pernikahan memang tak selalu mulus. Tapi, seperti kata Mizz Rosie: “Kisah pernikahan berbeda-beda, tapi Tuhan punya rencana untuk masing-masing kita. Kita belajar untuk bertahan, menjadi versi terbaik diri, dekat dengan pasangan dan Tuhan. Karena ujungnya, kita akan menghadapi semuanya berdua.”
Bu Astrid menutup sesi dengan mengingatkan bahwa kita tidak pernah punya hak untuk menghakimi pasangan mana pun, karena setiap orang punya cerita dan nilai hidup masing-masing.
Menuju Harapan yang Indah
MDG, yang awalnya lahir dari pengalaman pribadi, kini tumbuh menjadi simbol harapan. Sebuah ruang untuk para pejuang dua garis yang ingin terus belajar, berproses, dan saling menguatkan. “Kalau kamu ingin kebahagiaan, ya ambil dan perjuangkan. Happiness is something you learn,” pesan terakhir dari Chef Ken.
Sesi ini bukan hanya tentang infertilitas. Tapi tentang keberanian, tentang perubahan, dan tentang peran kita semua untuk saling mendukung mimpi satu sama lain.

Bagi banyak perempuan dengan PCOS, perjuangan bukan cuma soal haid yang nggak teratur atau sulit hamil. Tapi juga soal perubahan emosi yang datang silih berganti cemas, mudah marah, merasa tertekan tanpa sebab yang jelas.
Sebuah temuan dari penelitian menunjukkan bahwa PCOS dapat mengganggu cara tubuh kita mengelola stres dan emosi. Ada hubungan kompleks antara sistem saraf, hormon stres, dan sistem imun yang bisa terganggu pada perempuan dengan PCOS. Kondisi ini membuat tubuh cenderung mengalami peradangan ringan kronis sekaligus lebih sulit beradaptasi terhadap tekanan emosional.
Hormon Stres Menurun, Emosi Ikut Terpengaruh
Dalam tubuh yang sehat, hormon seperti CRH (corticotrophin-releasing hormone) dan NGF (nerve growth factor) membantu kita menyesuaikan diri saat stres. Tapi pada perempuan dengan PCOS, kadar dua hormon ini cenderung lebih rendah.
Akibatnya? Respons tubuh terhadap stres pun terganggu. Emosi jadi lebih mudah meledak, rasa cemas meningkat, dan energi mental cepat habis.
Ditambah lagi, PCOS juga berkaitan dengan ketidakseimbangan sistem imun, yang ditandai dengan naiknya penanda peradangan seperti interleukin (IL-1α dan IL-1β). Peradangan ini bisa memperburuk kondisi hormon dan emosi, membentuk lingkaran setan yang sulit diputus.
Jadi Wajar Nggak Sih Kalau Kita Ngerasa ‘Kacau’?
Wajar banget. Kondisi ini bukan karena kamu kurang kuat atau terlalu sensitif, tapi karena tubuhmu memang sedang mengalami ketidakseimbangan biologis yang nyata.
Meskipun nggak mudah, kabar baiknya: tubuh kita bisa dipulihkan.
Beberapa langkah kecil yang bisa membantu:
- Menjalani pola makan anti-inflamasi
- Rutin olahraga ringan
- Tidur cukup dan berkualitas
- Mengelola stres dengan cara yang sehat
- Dan yang nggak kalah penting: validasi perasaan diri sendiri
Perjalanan ini mungkin panjang, tapi dengan memahami apa yang terjadi dalam tubuh, kita bisa lebih bijak dan sabar menjalani prosesnya. Semoga para pejuang dua garis diberi kemudahan ya, informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Zangeneh, F. Z., Naghizadeh, M. M., Bagheri, M., & Jafarabadi, M. (2017). Are CRH & NGF as psychoneuroimmune regulators in women with polycystic ovary syndrome?. Gynecological endocrinology, 33(3), 227-233.

Infertilitas bukan hanya persoalan medis. Bagi banyak perempuan, ini adalah luka yang diam-diam menggores harga diri, relasi sosial, bahkan makna diri. Di balik label “belum punya anak”, ada stigma yang nyata dan menyakitkan.
Bahkan secara global, sekitar 8–12% pasangan usia subur mengalami infertilitas. Tapi meskipun angka ini cukup besar, banyak perempuan yang merasa sendirian. Mengapa?
Karena stigma. Masyarakat kerap melabeli perempuan infertil sebagai ‘kurang sempurna’ atau bahkan ‘gagal sebagai istri’. Padahal, infertilitas bisa terjadi pada laki-laki, perempuan, atau keduanya.
Cerita dari Balik Pintu Tertutup
Hal tersebut fakta adanya, seperti temuan penelitian yang dilakukan di Isfahan Fertility and Infertility Center dan menunjukkan mengapa ada perasaan seperti itu diantaranya adalah Pelanggengan Stigma, Stigma sendiri hadir dalam banyak bentuk mulai dari komentar menyakitkan, tatapan sinis, sampai tekanan dari sesama perempuan. Selanjutnya ada juga stigma terhadap diri sendiri seperti rasa bersalah, malu, dan merasa tidak berharga sering kali muncul sebagai reaksi internal terhadap tekanan sosial. Inilah yang disebut self-stigma.
Akhirnya karena lingkungan itu membuat para perempuan mencoba bertahan dengan berbagai cara: berpura-pura baik-baik saja, menerima kondisi dengan berat hati, atau menyembunyikan fakta bahwa mereka sedang menjalani program hamil. Ada juga perempuan yang bangkit dan menjadi lebih kuat. Dukungan dari pasangan atau keluarga membantu mereka berdamai dengan diri sendiri dan stigma yang ada.
Dampak yang Berkelanjutan
Dampak stigma terhadap perempuan infertil tidak main-main. Mereka rentan mengalami kecemasan, depresi, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam beberapa kasus, tekanan ini lebih menyakitkan dibanding diagnosis medis itu sendiri.
Tapi penting untuk diingat: perempuan punya hak untuk didengar, didukung, dan tidak dihakimi. Penelitian ini mengingatkan kita bahwa mendampingi perempuan yang mengalami infertilitas bukan hanya soal memberi solusi medis, tapi juga menyentuh sisi psikologis dan sosial mereka.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Validasi perasaan mereka. Jangan buru-buru menyuruh “sabar” atau “banyak doa”.
- Hindari komentar seperti “kapan punya anak?” ini bukan basa-basi yang menyenangkan.
- Buka ruang aman untuk berbagi cerita tanpa stigma.
Infertilitas bukan akhir dari segalanya. Tapi stigma bisa membuatnya terasa seperti itu. Sudah waktunya kita membuka mata dan hati agar tidak ada lagi perempuan yang merasa gagal hanya karena belum menjadi ibu. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi:
- Taebi, M., Kariman, N., & Majd, H. A. (2021). Infertility stigma: A qualitative study on feelings and experiences of infertile women. International journal of fertility & sterility, 15(3), 189.

Selama ini kita sering dengar kalau usia jadi faktor penting dalam kesuburan perempuan. Tapi ternyata, kesuburan pria juga ikut menurun seiring bertambahnya usia, lho!
Sebuah studi membuktikan bahwa kualitas sperma memang mengalami penurunan, terutama setelah usia 40 tahun.
Apa yang Berubah Saat Pria Menua?
Sebuah temuan dari penelitian menunjukkan bahwa pria yang usianya lebih tua cenderung punya:
- Sperma yang kurang lincah (motilitasnya rendah): Motilitas adalah kemampuan sperma untuk bergerak secara aktif menuju sel telur. Dalam proses kehamilan alami, sperma harus “berenang” dari vagina, melewati leher rahim, rahim, hingga tuba falopi untuk membuahi sel telur.
Kalau motilitasnya rendah, banyak sperma yang tidak mampu mencapai sel telur, sehingga peluang terjadinya pembuahan pun menurun. Dalam studi ini, ditemukan bahwa semakin tua usia pria, persentase sperma yang bisa bergerak aktif makin berkurang secara signifikan. - Lebih sedikit sperma dengan bentuk normal (morfologinya menurun)
Morfologi sperma adalah ukuran dan bentuk sperma. Sperma yang bentuknya tidak normal misalnya kepala bulat tak sempurna, ekor pendek, atau bentuk ganda lebih sulit membuahi sel telur.
Bagaimana itu dapat terjadi?
Pria yang lebih tua memiliki proporsi sperma berbentuk normal yang lebih sedikit, sehingga meskipun jumlah sperma banyak, kemampuannya untuk membuahi tetap rendah.
Jumlah sperma sehat yang mampu bergerak maju juga ikut turun dibuktikan melalui sebuah penelitian yang menghitung jumlah sperma yang disebut Total Progressive Motile Count (TPMC), yaitu jumlah sperma yang: Bergerak aktif, Bergerak maju ke depan (bukan hanya berputar di tempat) Nah, TPMC ini juga menurun seiring bertambahnya usia, bahkan mulai terlihat sejak usia akhir 30-an. Artinya, sperma yang benar-benar siap membuahi jumlahnya makin sedikit.
Tidak hanya itu karena penurunan ini juga terjadi meski faktor lain seperti kebiasaan merokok, infeksi, dan varikokel sudah dikontrol. Artinya, faktor usia memang punya pengaruh tersendiri.
Jadi buat kamu yang sedang atau akan memulai program hamil, informasi ini penting. Jangan hanya fokus ke pihak perempuan, karena usia dan kondisi kesehatan pria juga bisa menentukan keberhasilan promil terutama kalau promilnya alami.
Kalau kamu (atau pasanganmu) sudah berusia di atas 35–40 tahun, gak ada salahnya untuk mulai cek kualitas sperma sebagai langkah awal.
Referensi:
Castellini, C., Cordeschi, G., Tienforti, D., & Barbonetti, A. (2024). Relationship between male aging and semen quality: a retrospective study on over 2500 men. Archives of Gynecology and Obstetrics, 309(6), 2843-2852.

Smartphone di kantong celana, laptop di pangkuan, bahkan Wi-Fi 24 jam menyala di rumah semua itu sudah jadi bagian dari gaya hidup modern. Tapi, pernah nggak sih kamu dengar kalau radiasi dari gadget bisa menurunkan jumlah sperma?
Isu ini sering muncul di tengah kekhawatiran soal kesuburan pria, apalagi di era digital seperti sekarang. Tapi, benarkah paparan gelombang elektromagnetik dari gadget bisa berdampak langsung pada sperm count? Atau ini cuma mitos yang belum terbukti secara ilmiah?
Yuk, kita bahas faktanya berdasarkan bukti riset terbaru.
Radiasi Non-Ionisasi: Tidak Terlihat, Tapi Bisa Berdampak
Gadget seperti ponsel, laptop, dan Wi-Fi memancarkan radiasi non-ionisasi, yaitu jenis radiasi yang tidak merusak DNA secara langsung. Tapi meskipun energinya rendah, paparan terus-menerus dari alat-alat ini tetap bisa memicu gangguan pada sistem reproduksi pria terutama jika diletakkan terlalu dekat dengan area sensitif, seperti organ reproduksi.
Ponsel sendiri menjadi salah satu sumber radiasi non-ionisasi yang paling sering menemani kita sehari-hari. Sayangnya, kedekatan ini justru bisa menjadi masalah. Banyak studi menemukan bahwa kebiasaan menyimpan ponsel di saku celana atau meletakkannya dekat tubuh dalam waktu lama bisa berdampak pada kualitas sperma.
Radiasi dan Kualitas Sperma
Paparan radiasi dari gadget diketahui bisa mengganggu berbagai aspek penting dari sperma. Mulai dari pergerakannya yang jadi lambat, jumlahnya yang menurun, hingga bentuknya yang tidak normal. Selain itu, paparan ini juga bisa memicu stres oksidatif dan perubahan hormon dua hal yang berpengaruh besar terhadap kesuburan pria.
Dengan banyaknya temuan yang menunjukkan kaitan antara paparan radiasi dan penurunan kualitas sperma, bisa dibilang isu ini bukan lagi mitos. Memang belum semua detailnya benar-benar dipahami, tapi bukti yang ada sudah cukup untuk membuat kita lebih waspada, apalagi kalau sedang berusaha memiliki anak.
Tips Mengurangi Paparan
Menghindari gadget sepenuhnya tentu nggak realistis. Tapi ada beberapa langkah kecil yang bisa kamu lakukan, seperti menjauhkan ponsel dari area sensitif, tidak menaruh laptop langsung di pangkuan, dan mengaktifkan mode pesawat saat tidur. Hal-hal sederhana seperti ini bisa jadi upaya preventif yang berarti untuk menjaga kesehatan reproduksi.
Referensi
- Negi, P., & Singh, R. (2021). Association between reproductive health and nonionizing radiation exposure. Electromagnetic biology and medicine, 40(1), 92-102.

Siapa sih yang nggak suka gorengan renyah, ayam krispi, atau camilan instan serba gurih? Rasanya bikin nagih, apalagi kalau sedang stres atau butuh comfort food. Tapi, tahukah kamu kalau kebiasaan mengonsumsi junk food bisa diam-diam mengganggu kualitas sperma?
Makanan cepat saji, minuman manis, dan makanan tinggi lemak trans memang enak di lidah, tapi efeknya bisa jadi bencana bagi kesehatan reproduksi pria. Dalam beberapa penelitian, pola makan tinggi junk food dikaitkan dengan penurunan jumlah, motilitas, bahkan bentuk sperma yang sehat.
Lho, kok bisa? Yuk, kita bahas lebih lanjut bagaimana “makanan enak” ini bisa jadi musuh dalam selimut bagi kesuburan pria.
Junk Food dan Sperma
Junk food sendiri merupakan makanan cepat saji yang tinggi lemak jenuh, gula, dan garam, tapi rendah nutrisi penting seperti protein, serat, vitamin, dan mineral. Makanan seperti sereal manis, gorengan, makanan yang dibakar terlalu lama, keripik kentang, serta roti dan kue tinggi gula dan lemak termasuk dalam kategori ini. Konsumsi junk food secara berlebihan dapat berdampak buruk bagi kesehatan, seperti merusak gigi akibat interaksi gula dan bakteri di mulut, menyebabkan gangguan liver karena penumpukan lemak jenuh, serta meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan gangguan ginjal akibat tingginya kadar garam yang masuk ke tubuh.
Dalam sebuah studi dari Amerika, peneliti menganalisis pola makan para pria dan membandingkannya dengan kualitas sperma mereka. Hasilnya cukup jelas: pria yang rutin mengonsumsi makanan sehat seperti sayur, buah, dan biji-bijian cenderung punya sperma yang lebih baik. Sementara mereka yang sering makan junk food seperti kentang goreng dan makanan olahan justru menunjukkan penurunan kualitas sperma.
Lebih lanjut lagi, peneliti menemukan bahwa pola makan ini juga bisa memengaruhi epigenetik sperma yaitu ‘catatan’ genetik yang bisa memengaruhi bagaimana gen diwariskan ke generasi berikutnya. Jadi, kalau seorang pria terbiasa makan junk food, bisa saja hal ini menambah risiko anaknya kelak mengalami masalah metabolik atau penyakit kronis.
Bukan Cuma Tentang Kamu
Yang bikin merinding, dampaknya nggak berhenti di tubuh si pria. Gaya hidup dan pola makan sekarang bisa jadi faktor yang menentukan kesehatan anak di masa depan. Jadi, promil bukan cuma urusan perempuan saja. Pria juga punya peran besar dan salah satu kuncinya adalah dari apa yang mereka konsumsi setiap hari.
Kalau sister dan paksu sedang dalam perjalanan menuju dua garis, mulailah dari hal kecil salah satunya adalah isi piringmu. Kurangi makanan cepat saji, perbanyak buah dan sayur, dan ingat kesuburan itu kerja sama dua orang, bukan satu pihak saja. Informasi menarik lainnya follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Soubry, A., Murphy, S. K., Vansant, G., He, Y., Price, T. M., & Hoyo, C. (2021). Opposing epigenetic signatures in human sperm by intake of fast food versus healthy food. Frontiers in endocrinology, 12, 625204.
- https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-junk-food