Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Infertilitas kini menjadi tantangan besar di era modern. Sekitar 10%–15% pasangan usia reproduktif mengalami kesulitan untuk hamil, dan dalam 50% kasus, faktor laki-laki turut berperan baik sebagai penyebab tunggal atau bersama dengan faktor perempuan. Salah satu penyebab utamanya adalah gangguan fungsi sperma. Lalu adakah penyebab dan obat untuk menangani masalah ini? yuk pahami lebih lanhjut!
Mitokondria dan Kualitas Sperma
Mitokondria adalah organela penghasil energi (ATP) yang sangat penting bagi sel sperma. Letaknya berada di bagian leher sperma dan fungsinya memasok energi untuk pergerakan ekor, sehingga sperma mampu berenang menuju sel telur dan melakukan pembuahan. Mitokondria yang bekerja optimal sangat menentukan kualitas motilitas (pergerakan), daya tahan sperma di saluran reproduksi, hingga kemampuannya bertahan hidup setelah proses pembekuan (cryopreservation). Dengan kata lain, tanpa energi yang cukup dari mitokondria, sperma akan kesulitan bergerak aktif dan peluang terjadinya pembuahan pun menurun.
Namun, produksi energi oleh mitokondria juga menghasilkan radikal bebas yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Dalam batas wajar, ROS berguna untuk pematangan sperma, tapi jika jumlahnya berlebihan akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif dapat merusak struktur sperma, menurunkan kemampuan bergerak, dan bahkan merusak DNA sperma. Banyak kasus infertilitas pria bahkan yang penyebabnya tidak jelas—kini dihubungkan dengan stres oksidatif akibat kelebihan ROS dari mitokondria. Oleh karena itu, menjaga fungsi mitokondria melalui gaya hidup sehat dan asupan antioksidan sangat penting untuk mendukung kesehatan dan kualitas sperma.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Selama beberapa dekade terakhir, para peneliti telah mengembangkan berbagai metode untuk mengukur dan menilai fungsi mitokondria dalam sperma secara lebih akurat. Pengujian ini meliputi penilaian produksi energi, aktivitas enzim, serta tingkat produksi radikal bebas (ROS) di mitokondria sperma. Saat ini, parameter fungsi mitokondria sudah mulai digunakan sebagai indikator langsung kualitas sperma, karena kemampuan mitokondria sangat berkaitan erat dengan motilitas dan daya tahan sperma. Dengan memahami kondisi mitokondria, dokter dan ahli reproduksi dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang potensi kesuburan seorang pria.
Perkembangan terbaru dalam bidang ini menunjukkan potensi besar dari penggunaan senyawa antioksidan yang ditargetkan langsung ke mitokondria. Zat antioksidan khusus ini dirancang untuk menetralisir ROS secara spesifik di tempat produksinya, yaitu dalam mitokondria. Pendekatan ini dianggap lebih efektif dibandingkan antioksidan umum dalam melindungi sperma dari kerusakan oksidatif. Terapi yang menargetkan mitokondria ini mulai dilirik sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi sperma secara menyeluruh, sekaligus digunakan sebagai dukungan terapi setelah proses pembekuan sperma (cryopreservation) agar kualitasnya tetap terjaga.
Pendekatan terapi yang menargetkan mitokondria sperma sebagai “jantung energi” sel ini membuka jalan baru yang menjanjikan dalam meningkatkan kualitas dan fungsi sperma. Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi memungkinkan para peneliti mengukur langsung kesehatan mitokondria sperma sebagai indikator utama kesuburan. Terutama, penggunaan antioksidan yang difokuskan pada mitokondria berhasil menetralisir radikal bebas (ROS) di sumber produksinya, sehingga melindungi sperma dari stres oksidatif yang merusak. Langkah ini berbeda dari terapi tradisional yang biasanya tidak secara spesifik menargetkan mitokondria, sehingga potensi meningkatkan motilitas, daya tahan, dan kualitas sperma menjadi lebih besar sekaligus menjaga kualitas sperma setelah pembekuan.
Meski metode ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan efektivitas dan keamanannya secara klinis, pendekatan langsung ke mitokondria sudah mulai dianggap sebagai solusi strategis untuk mengatasi infertilitas pria, terutama dalam kasus yang sulit diobati dengan terapi konvensional. Kedepannya, integrasi terapi tersebut ke dalam perawatan infertilitas dapat meningkatkan peluang kehamilan bagi banyak pasangan. Pendekatan ini juga menimbulkan pertanyaan penting tentang langkah-langkah selanjutnya, seperti bagaimana memaksimalkan terapi mitokondria, mengelola potensi risiko klinis, dan menggabungkannya ke dalam protokol pengobatan fertilitas yang ada saat ini. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Escada-Rebelo, S., Cristo, M. I., Ramalho-Santos, J., & Amaral, S. (2022). Mitochondria-targeted compounds to assess and improve human sperm function. Antioxidants & Redox Signaling, 37(7-9), 451-480.

Keguguran berulang (Recurrent Pregnancy Loss/RPL) adalah pengalaman yang menguras fisik dan emosional. Salah satu penyebab yang seringkali tersembunyi namun signifikan adalah kelainan genetik atau kromosom pada sperma, sel telur, maupun embrio. Gangguan pada salah satu dari tiga komponen ini dapat menjadi faktor utama dalam sejumlah besar kasus keguguran spontan dan keguguran berulang. Mengapa demikian?
Kelainan Kromosom pada Sperma dan Sel Telur
Salah satu penyebab utama keguguran berulang adalah integritas kromosom yang terganggu, baik pada sperma maupun sel telur. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya sangat dipengaruhi oleh usia ibu. Seiring bertambahnya usia, risiko kelainan kromosom pada sel telur meningkat, yang kemudian berdampak pada kualitas embrio dan potensi keberhasilan kehamilan.
Lalu adakah solusi?
Untuk mengurangi risiko tersebut, teknologi Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidies (PGT-A) memungkinkan untuk mendeteksi dan menghindari transfer embrio dengan jumlah kromosom yang tidak normal (aneuploidi). Dengan seleksi ini, peluang kehamilan yang berhasil dapat meningkat, sekaligus menurunkan risiko keguguran.
Kelainan Struktural Kromosom pada Orang Tua
Tidak hanya jumlah kromosom, susunan atau struktur kromosom pada orang tua juga bisa menjadi faktor penyebab. Sekitar 12% pasangan dengan kasus keguguran berulang diketahui memiliki kelainan struktural kromosom, bahkan meskipun mereka sebelumnya telah memiliki anak yang sehat. Dari angka tersebut, lebih dari 40% kelainan dapat dideteksi melalui pemeriksaan karyotipe standar.
Bila ditemukan adanya kelainan ini, teknologi Preimplantation Genetic Testing for Monogenic Disorders (PGT-M) dapat membantu memilih embrio yang bebas dari penyakit genetik yang diturunkan.
Inaktivasi Kromosom X yang Tidak Seimbang
Faktor lain yang juga ditemukan pada perempuan dengan keguguran berulang adalah inaktivasi kromosom X yang asimetris. Meski mekanisme ini belum sepenuhnya dipahami, studi menunjukkan bahwa kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita dengan riwayat keguguran berulang. Namun, hingga saat ini belum ada terapi khusus yang dapat diberikan untuk mengatasi temuan ini.
Faktor genetik dan kromosom memainkan peran penting dalam keberhasilan kehamilan, terutama pada kasus keguguran berulang. Pemeriksaan genetik lanjutan seperti karyotipe, PGT-A, atau PGT-M dapat memberikan informasi penting dan membantu dalam perencanaan kehamilan yang lebih aman.
Konsultasi dengan spesialis fertilitas dan genetika reproduksi adalah langkah bijak untuk memahami pilihan terbaik bagi pasangan yang sedang berjuang meraih dua garis harapan. Sister juga jangan lupa menjaga kesehatan secara keseluruhan karena tubuh yang sehat adalah kunci dari semua bentuk kesehatan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Klimczak, A. M., Patel, D. P., Hotaling, J. M., & Scott Jr, R. T. (2021). Role of the sperm, oocyte, and embryo in recurrent pregnancy loss. Fertility and sterility, 115(3), 533-537.

Banyak perempuan dengan endometriosis yang khawatir tidak bisa hamil. Tapi faktanya, beberapa dari mereka tetap bisa hamil secara alami tanpa bantuan teknologi reproduksi. Kabar baik, bukan?
Meski begitu sister harus tau ada satu hal penting yang perlu diperhatikan terkait kehamilan dengan endometriosis karena ternyata bisa punya risiko yang lebih tinggi dibandingkan perempuan tanpa kondisi ini. Kira-kira berdampak ke apa? bahas lebih lanjut yuk!
Resiko Kehamilan pada Wanita Endometriosis
Sebuah penelitian di Italia yang melibatkan lebih dari seribu kehamilan menemukan bahwa ibu hamil dengan endometriosis lebih sering mengalami kelahiran prematur dan bayinya lebih sering harus dirawat di ruang perawatan intensif khusus bayi (NICU).
Apa Saja Risikonya?
Dibandingkan perempuan tanpa endometriosis, ibu hamil dengan kondisi ini berisiko lebih tinggi mengalami:
- Persalinan sebelum usia kandungan 37 minggu (prematur)
- Persalinan sangat prematur sebelum 34 minggu
- Bayi lahir dengan kondisi yang membutuhkan perawatan intensif di NICU
Itu artinya, meski bisa hamil secara alami, kondisi endometriosis tetap membawa tantangan tersendiri selama kehamilan.
Kalau Ada Adenomiosis Juga, Resikonya Lebih Tinggi
Tidak hanya endometriosis, bagi sister juga akan menghadapi risiko jadi lebih besar jika memiliki adenomiosis, yaitu kondisi ketika jaringan lapisan rahim tumbuh ke dalam otot rahim. Bagi sister dengan adenomiosis yang cukup berat, risiko kehamilan seperti:
- Plasenta previa (plasenta menutupi jalan lahir),
- Kebutuhan untuk melahirkan secara sesar, dan
- Kelahiran prematur
Apa yang Harus Dilakukan?
Setelah melihat semua kemungkinan tersebut mendorong kalian jadi lebih waspada terutama jika punya endometriosis dan sedang hamil atau sedang merencanakan kehamilan, jangan takut. Informasi ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membuat sister lebih siap. Karena selanjutnya sister harus berkonsultasi dengan dokter kandungan, terutama yang memahami kondisi seperti endometriosis dan adenomiosis. Pemantauan lebih awal dan persiapan yang baik bisa membantu mengurangi risiko yang mungkin muncul.
Referensi
- Berlanda, N., Alio, W., Angioni, S., Bergamini, V., Bonin, C., Boracchi, P., … & Endometriosis Treatment Italian Club (ETIC). (2022). Impact of endometriosis on obstetric outcome after natural conception: a multicenter Italian study. Archives of gynecology and obstetrics, 305(1), 149-157.

Dalam sesi channel takeover MDG bersama dr. Erik Sutandi, Sp.OG, muncul banyak pertanyaan dari pejuang dua garis seputar peluang hamil alami meskipun memiliki kondisi tertentu seperti miom, kista, atau kualitas sperma yang kurang optimal. Berikut rangkuman tanya-jawabnya.
Apakah Masih Bisa Hamil Alami?
Pertanyaan:
“Bagaimana caranya hamil alami ya dok?
Kondisi saya: miom <5 cm, BB 68 kg, TB 155 cm, siklus haid 31 hari, dan suami teratozoospermia 2%.”
Jawaban dr. Erik:
Kalau miom berada di luar rahim, biasanya tidak perlu dioperasi. Tapi kalau letaknya di dinding atau di dalam rahim, sebaiknya diangkat karena bisa mengganggu proses implantasi.
Untuk teratozoospermia 2%, suami perlu memperbaiki kualitas sperma dengan:
- Olahraga teratur
- Menghindari rokok dan alkohol
- Tidur cukup
- Konsumsi makanan bergizi tinggi zinc dan antioksidan
Kalau Hanya Suami yang Bermasalah, Masih Bisa Hamil Alami?
Pertanyaan:
“Dok, saya nggak ada keluhan. Tapi suami saya asthenoteratozoospermia. Masih mungkin hamil alami?”
Jawaban dr. Erik:
Kalau suami punya asthenoteratozoospermia, artinya gerak dan bentuk sperma tidak normal. Kemungkinan hamil alami masih ada, tapi harus diperbaiki dulu kualitas spermanya agar peluang keberhasilan lebih tinggi.
Supaya Kista Nggak Kambuh Lagi Setelah Operasi, Gimana?
Pertanyaan:
“Saya habis laparoskopi kista ovarium bulan Maret. Apa ada cara biar kista nggak balik lagi?”
Jawaban dr. Erik:
Untuk kista endometriosis yang sering kambuh, setelah laparoskopi disarankan menghentikan haid sementara. Ini bisa dilakukan dengan obat seperti dienogest, selama beberapa bulan bahkan hingga lima tahun, tergantung kasusnya.
Saya Ada Kista Endometriosis 2 cm dan Suami Oligoteratozoospermia. Masih Bisa Hamil Alami?
Pertanyaan:
“Bagaimana caranya saya bisa hamil alami, dok?”
Jawaban dr. Erik:
Kista endometriosis 2 cm bisa diabaikan dulu bila tidak mengganggu. Tapi yang lebih penting, kualitas sperma suami harus diperbaiki.
Langkah yang disarankan:
- USG testis untuk cek kemungkinan varikokel
- Suplemen: zinc, coenzyme Q10
- Pastikan saluran tuba tidak tersumbat dengan pemeriksaan HSG
Bolehkah Ulang HSG Dalam Setahun? Apakah Hasilnya Bisa Berubah?
Pertanyaan:
“Kalau saya mau cek HSG ulang dalam waktu setahun, hasilnya bisa beda nggak?”
Jawaban dr. Erik:
Kalau hasil HSG sebelumnya menunjukkan sumbatan, bisa dicek lebih lanjut lewat laparoskopi. Tindakan ini bisa melihat kondisi secara langsung dan bahkan bisa membebaskan perlengketan jika memang itu penyebab sumbatan.
Meskipun memiliki kondisi seperti miom, kista, atau sperma berkualitas rendah, peluang hamil alami tetap ada, asal penanganannya tepat. Konsultasi rutin, evaluasi menyeluruh, dan perubahan gaya hidup sehat bisa sangat membantu.
Jika kamu sedang dalam perjalanan program hamil, jangan ragu untuk berdiskusi dengan dokter kandungan agar mendapatkan pendekatan yang paling sesuai dengan kondisimu. Kalau kamu tidak ingin tertinggal informasi menarik lainnya dan bisa langsung tanya jawab dengan dokter, jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id dan ikuti channel broadcastnya.

Di tengah semakin berkembangnya teknologi reproduksi berbantu (ART), salah satu pilihan yang makin banyak dibicarakan adalah pembekuan sel telur atau oocyte cryopreservation. Tapi, seberapa efektif sebenarnya metode ini? Apakah sel telur beku bisa bertahan, menghasilkan kehamilan, bahkan melahirkan bayi sehat? Yuk, kita bahas hasil penelitian terbaru yang bisa jadi insight penting buat kamu, sister!
Mengenal Tujuan dan Latar Belakang Prosedur
Jadi ada sebuah penelitian yang melihat bagaimana hasil dari prosedur pembekuan sel telur (oocyte cryopreservation) yang dilakukan di sebuah klinik fertilitas selama tahun 2015–2020. Sebanyak 224 perempuan berusia 18–48 tahun ikut serta dalam studi ini, dengan latar belakang yang beragam. Ada yang membekukan sel telur karena harus menjalani pengobatan seperti kemoterapi yang bisa merusak kesuburan, ada juga perempuan lajang yang cadangan sel telurnya mulai menurun. Beberapa pasangan melakukan prosedur ini karena di hari pengambilan sel telur, sperma tidak bisa didapatkan. Selain itu, ada juga pasien yang melakukan teknik oocyte pooling untuk keperluan ICSI (penyuntikan sperma ke dalam sel telur) karena alasan teknis.
Gimana Hasilnya?
Dari data yang dikumpulkan, didapatkan hasil menarik:
- Tingkat kelangsungan hidup sel telur setelah dibekukan dan dicairkan: 92,68%
- Tingkat kehamilan per siklus pencairan sel telur: 8,66%
- Tingkat kelahiran hidup per siklus pencairan: 4,66%
Jadi dengan menggunakan teknik vitrifikasi (proses pembekuan super cepat yang mencegah pembentukan kristal es), tingkat kelangsungan hidup sel telur sangat tinggi lebih dari 90%! Ini menunjukkan bahwa metode ini sudah cukup aman dan efektif.
Meskipun angka kehamilan dan kelahiran hidup per siklus belum setinggi pembekuan embrio, hasilnya relatif setara, apalagi untuk pasien dengan kondisi khusus seperti yang disebutkan di atas.
Pembekuan Sel Telur dan Pilihan Perempuan
Karena pembekuan sel telur memberikan pilihan nyata bagi perempuan untuk menjaga kemungkinan memiliki anak di masa depan, khususnya bagi yang belum menemukan pasangan, Menghadapi kondisi medis serius atau Mengalami penurunan cadangan ovarium di usia muda.
Dengan terus berkembangnya teknologi, pembekuan sel telur bukan lagi sekadar wacana, tapi investasi nyata untuk masa depan reproduksi perempuan. Kalau kamu ingin tahu apakah pembekuan sel telur cocok untukmu atau ingin memahami lebih lanjut soal fertilitas, jangan ragu buat diskusi ya, sister! informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Spiegel, E., Weintraub, A. Y., Aricha-Tamir, B., Ben-Harush, Y., & Hershkovitz, R. (2021). The use of sonographic myometrial thickness measurements for the prediction of time from induction of labor to delivery. Archives of Gynecology and Obstetrics, 303(4), 891-896.

Surabaya, 16 Juli 2025 – Komunitas Menuju Dua Garis (MDG) bekerja sama dengan Asha IVF Indonesia menggelar bootcamp bertema “Mengenal Lebih Dekat Kesehatan Rahim dan Peluang Kehamilan di Usia 30+”. Acara ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom dan berhasil menarik lebih dari 230 peserta yang hadir dari seluruh Indonesia.
Bootcamp dibuka oleh Bumin Tivani dan dilanjutkan dengan sambutan hangat dari founder MDG, Mizz Rosie, yang menyapa para Pejuang Dua Garis (PDG) dan mengajak mereka untuk merenungkan pentingnya rahim sebagai ruang kehidupan yang tumbuh selama sembilan bulan. “Kita semua pasti punya kesempatan. Maka, penting untuk bertanya pada diri sendiri: apa yang bisa saya lakukan untuk menjaga kesehatan rahim saya?” ujarnya.
Materi utama disampaikan oleh Dr. dr. Amang Surya P., SpOG., F-MAS., yang memaparkan struktur sistem reproduksi perempuan dan bagaimana proses kehamilan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk usia. Ia menegaskan bahwa perempuan perlu waspada terhadap kondisi rahim mereka, terutama jika ada kelainan organik seperti polip atau mioma. Tidak semua kondisi harus dioperasi, terutama jika tidak mengganggu peluang kehamilan. Dr. Amang juga menyoroti bahwa kompleksitas reproduksi perempuan jauh lebih tinggi dibanding laki-laki, karena pada laki-laki fokus utamanya hanya pada kualitas sperma.
Diskusi semakin hidup ketika peserta mulai mengajukan berbagai pertanyaan. Salah satu peserta bercerita bahwa ia berusia 33 tahun, telah menikah selama 4 tahun, dengan suami yang didiagnosis oligozoospermia. Ia sendiri memiliki jumlah sel telur yang sedikit dan berukuran kecil, meski siklus menstruasinya normal. Ia bertanya, masihkah ada peluang untuk hamil secara alami, dan langkah apa yang sebaiknya diambil selanjutnya?
Ada juga peserta yang ingin tahu apakah hasil HSG yang menunjukkan pembengkakan pada saluran tuba bisa berubah jika tes diulang setelah satu tahun. Pertanyaan lain datang dari peserta yang memiliki kista 4 cm tanpa adenomiosis, dan ingin tahu apakah kondisi ini akan mengganggu proses implantasi embrio.
Beberapa PDG juga berbagi kondisi yang lebih kompleks. Seorang peserta berusia 36 tahun mengalami adenomiosis di dinding luar rahim, kista coklat di ovarium, dan low AMH, sementara suaminya mengalami OAT. Setelah tiga kali IVF, mereka mendapatkan embrio berkualitas baik pada hari kelima dan bertanya mengenai peluang keberhasilan untuk IVF keempat.
Menanggapi semua pertanyaan tersebut, Dr. Amang menekankan pentingnya mengetahui kondisi diri sendiri sedini mungkin. “Jangan menunda-nunda untuk tahu kondisi kalian. Keputusan yang diambil hari ini adalah langkah berani. Jangan khawatir berlebihan kalau belum tahu kondisinya, karena bagaimana kalian bisa menentukan langkah kalau belum tahu harus dari mana memulainya?” pesannya.
Untuk informasi menarik dan edukasi seputar program kehamilan, MDG mengajak para PDG untuk mengikuti Instagram @menujuduagaris.id. Sampai jumpa di bootcamp selanjutnya.

Buat sebagian perempuan, endometriosis bukan sekadar nyeri haid biasa. Kondisi ini bisa menyerang ovarium, bikin cadangan sel telur menipis, dan memperbesar risiko infertilitas bahkan pada usia muda. Dilain sisi sekarang sudah ada solusi yang makin dikenal dan makin realistis seperti fertility preservation atau peliharaan kesuburan. Yuk, kita bahas kenapa ini penting banget buat kamu yang punya endometriosis!
Kenapa Endometriosis Bisa Ganggu Kesuburan?
Endometriosis dengan kadar berat bisa menyebabkan kerusakan pada jaringan ovarium. Kalau sampai muncul kista di kedua ovarium (bilateral endometrioma), atau kamu pernah operasi berulang, maka risiko menurunnya cadangan sel telur (ovarian reserve) makin besar.
Bahkan tanpa operasi pun, peradangan akibat endometriosis bisa berdampak ke cadangan sel telur yang kamu punya. Kondisi ini nggak selalu langsung kelihatan, tapi bisa berujung pada:
- Respons hormon yang makin rendah saat stimulasi IVF
- Sulit hamil secara alami
- Bahkan risiko menopause dini (premature ovarian failure)
Operasi Bukan Solusi Satu-Satunya (dan Bisa Berdampak ke Ovarium)
Saat kista endometriosis diangkat, cadangan sel telur juga bisa ikut terangkat. Data menunjukkan, kadar hormon AMH bisa turun hingga 30% setelah pengangkatan satu sisi endometrioma, dan sampai 44% kalau kedua sisi ovarium terlibat. Ini alasan kenapa pasien endometriosis wajib dikasih informasi soal pelestarian kesuburan sebelum tindakan apa pun dilakukan.
Apa Itu Fertility Preservation?
Fertility preservation (FP) adalah upaya menyimpan potensi kesuburan untuk masa depan. Beberapa pilihan FP antara lain:
- Pembekuan sel telur (oocyte freezing)
Direkomendasikan menyimpan 10–15 sel telur untuk usia ≤35 tahun, dan lebih dari 20 sel telur untuk yang >35 tahun. - Pembekuan embrio (kalau sudah punya pasangan atau pakai donor sperma)
- Pembekuan jaringan ovarium (biasanya untuk kasus khusus dan bisa dilakukan sebelum terapi medis ekstrem).
Meski demikian konsultasi ke dokter kandungan yang paham masalah endometriosis dan infertilitas adalah langkah pertama. Sister bisa cek kadar AMH dan USG antral follicle count untuk tahu seberapa besar cadangan sel telur saat ini. Kalau kamu memang butuh operasi, pastikan dilakukan dengan teknik fertility-sparing alias yang meminimalkan kerusakan jaringan ovarium yang sehat.
Meski endometriosis bisa menggerus kesuburan tapi dengan persiapan dan pengetahuan yang tepat, sister tetap punya kendali atas pilihan reproduksimu. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Carrillo, L., Seidman, D. S., Cittadini, E., & Meirow, D. (2016). The role of fertility preservation in patients with endometriosis. Journal of assisted reproduction and genetics, 33(3), 317-323.
- Rangi, S., Hur, C., Richards, E., & Falcone, T. (2023). Fertility preservation in women with endometriosis. Journal of Clinical Medicine, 12(13), 4331.
Endometriosis bukan hanya penyakit fisik. Di balik nyeri panggul kronis, menstruasi yang menyakitkan, dan tantangan kehamilan, ada luka yang tak kalah berat ini berkaitan dengan identitas diri, tekanan emosional, dan perasaan terasing dalam hubungan sosial.
Sebuah penelitian berkaitan dengan “endometriosis” mengungkap hal yang sering terabaikan bagaimana penyakit ini mengubah cara perempuan memandang dirinya sendiri dan menjalani hidup sehari-hari di tengah ekspektasi sosial untuk selalu ‘kuat’ dan tetap memenuhi peran sebagai perempuan yang ‘baik’.
Mempertanyakan Identitas Diri
Banyak perempuan menggambarkan hidup dengan endometriosis sebagai pengalaman yang menggerus identitas pribadi. Mengapa seperti itu? bagaimana tidak jika setiap hari aktivitas harian terganggu, peran sosial berubah, dan tubuh sendiri terasa seperti musuh. Hal ini yang kemudian membuat mereka merasa terpisah dari versi diri mereka yang “normal”, seolah kehilangan jati diri karena terus-menerus bergulat dengan rasa sakit dan kelelahan.
Sedihnya ketika respons dari orang sekitar termasuk tenaga medis sering kali memicu perasaan tidak valid, bahkan seakan-akan mereka “bermasalah” secara mental. Para perempuan bercerita pernah merasa seperti “akan menjadi gila” karena keluhan mereka dianggap sepele atau dicurigai bersumber dari psikologis, bukan kondisi medis yang nyata.
Tak Ingin Jadi Beban: Memilih Diam
Dilain sisi ada perasaan menjadi beban bagi pasangan, keluarga, atau teman-teman yang muncul berulang. Alih-alih terus menjelaskan dan ditolak pemahamannya, banyak perempuan memilih menyembunyikan rasa sakit mereka. Strategi ini disebut self-silencing diam untuk menjaga hubungan, meski mengorbankan kesejahteraan pribadi.
Banyak perempuan mengaku bahwa prioritas mereka dalam pengobatan adalah mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, di mata tenaga kesehatan, prioritas seringkali diarahkan pada dua hal: fungsi seksual dan kehamilan. Ketika fokus terus diarahkan ke kesuburan, perempuan yang belum atau tidak bisa hamil merasa gagal sebagai perempuan, bahkan kehilangan makna identitas kewanitaannya.
Realitas Sosial yang Memperparah
Di masyarakat, perempuan sering dituntut untuk tetap “kuat”, tetap merawat, tetap tersenyum, meskipun dalam kondisi tidak baik. Ketika endometriosis menyerang, ekspektasi ini bisa menjadi tekanan tambahan. Menjadi perempuan sakit berarti harus menderita secara diam-diam tidak mengeluh terlalu keras agar tidak dianggap lemah, histeris, atau “bermasalah”.
Praktik self-silencing ini pada faktanya berdampak buruk bagi kesehatan mental dan kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri. Perempuan yang terus menyembunyikan rasa sakitnya berisiko mengalami depresi, kehilangan jati diri, dan semakin menjauh dari perawatan yang sebenarnya mereka butuhkan.
Dampak psikologis dari endometriosis tidak bisa dianggap remeh. Identitas diri yang terganggu, relasi yang renggang, dan beban emosional yang berat bisa membuat penderita endometriosis mengalami tekanan yang lebih besar dibanding kondisi kronis lainnya. Sayangnya, aspek ini masih kurang diperhatikan dalam layanan kesehatan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
- Validasi pengalaman mereka. Jangan langsung menyepelekan keluhan atau memberi nasihat kosong.
- Ubah cara pandang medis dan sosial: Fokus bukan hanya pada rahim dan reproduksi, tapi pada kualitas hidup dan kesehatan mental secara menyeluruh.
- Dorong ruang aman untuk bersuara. Baik di rumah, tempat kerja, atau pelayanan kesehatan.
Endometriosis adalah kondisi fisik dan emosional. Memahami sisi emosionalnya bukan berarti melebih-lebihkan tapi justru langkah penting menuju empati, perawatan yang tepat, dan pemulihan yang lebih holistik. Apakah dari sister ada yang juga mengalami hal tersebut? yuk jadi bagian yang paham dan berempati! informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Cole, J. M., Grogan, S., & Turley, E. (2021). “The most lonely condition I can imagine”: Psychosocial impacts of endometriosis on women’s identity. Feminism & Psychology, 31(2), 171-191.