Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Gangguan hipertensi dalam kehamilan atau bisa disebut dengan Hypertensive Disorders of Pregnancy/HDP, seperti preeklampsia atau hipertensi gestasional, menjadi salah satu kondisi serius yang bisa membahayakan ibu dan bayi. Kondisi ini rawan menyasar pada ibu hamil terutama jika berumur lanjut, mengapa demikian? Yuk pahami lebih lanjut!
Bagaimana HDP di Seluruh Dunia
Secara global, jumlah kasus HDP meningkat dari 16,30 juta menjadi 18,08 juta dari tahun 1990 hingga 2019, menunjukkan total kenaikan sekitar 10,92%. Kelompok Usia Paling Terdampak Berdasarkan insiden dan prevalensi, jumlah kematian serta tahun hidup dengan disabilitas tertinggi ditemukan pada kelompok usia 25–29 tahun, diikuti oleh kelompok usia 30–34 tahun dan 20–24 tahun. Menariknya, tingkat insiden terendah ditemukan pada kelompok usia 25–29 tahun, sedangkan tingkat insiden yang lebih tinggi diamati pada kelompok usia termuda dan tertua. Ini menunjukkan bahwa wanita di usia sangat muda atau sangat tua memiliki risiko relatif yang lebih tinggi terkena HDP. Lalu kira-kira apa hubungannya dengan usia?
Tekanan Darah Tinggi Saat Hamil: Apa Hubungannya dengan Usia?
Bagi sister yang akan melakukan program hamil, harus mulai aware jika gangguan hipertensi dalam kehamilan (HDP), seperti preeklampsia dan hipertensi gestasional, lebih berisiko terjadi pada perempuan hamil usia 30 tahun ke atas. Seiring bertambahnya usia, pembuluh darah dan fungsi organ tubuh mengalami penurunan elastisitas, sehingga tubuh lebih rentan terhadap lonjakan tekanan darah saat hamil. Risiko ini makin meningkat pada usia 35 tahun ke atas, di mana komplikasi seperti gangguan pertumbuhan janin, solusio plasenta, persalinan prematur, hingga kebutuhan operasi caesar juga lebih mungkin terjadi.
Karena itu, skrining sejak awal kehamilan sangat penting, terutama bagi yang memiliki riwayat hipertensi, kehamilan pertama, preeklampsia sebelumnya, obesitas, atau diabetes. Deteksi dini dan pencegahan dengan aspirin dosis rendah yang tepat sasaran bisa membantu mengurangi risiko HDP dan dampaknya bagi ibu dan janin.
Kemajuan Global dan HDP
Tapi jangan jangan khawatir karena Kemajuan Global turut menurunkan angka kematian dan insiden HDP dikarenakan para calon ibu hamil sudah rutin melakukan pengecekan dan menjadi perhatian terhadap pemeriksaan prenatal dan edukasi kesehatan.
Artikel ini memberikan gambaran gangguan hipertensi dalam kehamilan. Meskipun angka kematian dan insiden menurun di sebagian besar tempat, masih ada tantangan besar di negara-negara berpenghasilan rendah. Untuk itu bagi sister dan paksu yang akan melakukan program hamil sebaiknya melakukan pengecekan agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan nantinya. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id.
Referensi
- Wang, W., Xie, X., Yuan, T., Wang, Y., Zhao, F., Zhou, Z., & Zhang, H. (2021). Epidemiological trends of maternal hypertensive disorders of pregnancy at the global, regional, and national levels: a population‐based study. BMC pregnancy and childbirth, 21(1), 364.
- Leeman, L., & Fontaine, P. (2008). Hypertensive disorders of pregnancy. American family physician, 78(1), 93-100.

Belakangan ini, beberapa wanita memutuskan untuk menunda kehamilan hingga usia 30-an, bahkan 40-an. Ada banyak alasan di baliknya, mulai dari fokus pada pendidikan dan karier, perubahan sosial seperti perceraian yang lebih umum, hingga kemajuan dalam pengobatan kesuburan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa usia ibu lanjut (Advanced Maternal Age/AMA), atau pada wanita hamil berusia 35 tahun ke atas dalam konteks kesehatan reproduksi kehamilan di usia ini memiliki tantangan tersendiri yang perlu dipahami dengan baik. Apa saja tantangannya? pahami lebih lanjut yuk!
Risiko yang Lebih Tinggi dalam Kehamilan di Usia Lanjut
Usia ibu yang lebih tua dapat meningkatkan risiko berbagai komplikasi kehamilan. Beberapa di antaranya meliputi:
- Komplikasi Kehamilan Awal: Seperti kehamilan di luar kandungan (ektopik) dan keguguran.
- Masalah Janin: Peningkatan risiko kelainan kromosom pada janin dan cacat bawaan.
- Masalah Plasenta: Seperti plasenta previa (plasenta menutupi jalan lahir) dan solusio plasenta (plasenta lepas sebelum waktunya).
- Kondisi Medis Selama Kehamilan: Lebih rentan terhadap diabetes gestasional (diabetes saat hamil) dan preeklampsia (tekanan darah tinggi saat hamil).
- Kebutuhan Operasi Caesar: Kemungkinan melahirkan secara operasi caesar lebih tinggi.
- Risiko Persalinan Prematur dan Kematian Perinatal: Komplikasi di atas bisa menyebabkan bayi lahir prematur dan meningkatkan risiko kematian bayi.
Selain itu, jika seorang wanita sudah memiliki penyakit kronis, kehamilan dapat menambah risiko dan menuntut pemantauan yang lebih ketat. Lalu adakah dampak lain selain berdampak pada susahnya hamil?
Dampak Jangka Panjang pada Kesehatan Ibu
Kehamilan di usia lanjut memang bukan hal yang mustahil, tapi tetap ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan. Selain tantangan selama kehamilan, ada juga dampak jangka panjang yang bisa memengaruhi kesehatan ibu di kemudian hari.
Secara fisik, perubahan tubuh akibat kehamilan dan meningkatnya risiko komplikasi bisa berdampak seiring bertambahnya usia. Tapi bukan cuma soal fisik, sister karena dampak non-fisik juga perlu jadi perhatian. Misalnya, risiko depresi pasca persalinan cenderung lebih tinggi pada wanita yang hamil di usia lanjut.
Walau begitu, kehamilan di usia lanjut tetap bisa menjadi pilihan yang valid. Yang penting, sister dan paksu perlu mendapat pemahaman yang utuh dari berbagai pihak terutama dari tenaga medis dan support system terdekat.
Beberapa wanita mungkin memilih untuk tetap menjalani kehamilan meski ada risiko, dengan harapan besar dan kepercayaan diri yang kuat. Apalagi dengan adanya pengalaman positif sebelumnya atau bantuan teknologi reproduksi, banyak yang merasa lebih siap dan yakin.
Intinya, dengan edukasi yang cukup dan dukungan holistik, sister yang hamil di usia lanjut tetap bisa mengambil keputusan klinis yang tepat, menjalani kehamilan yang aman, dan menjaga kualitas hidup jangka panjang baik selama masa hamil, maupun ketika menua nanti. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Correa-de-Araujo, R., & Yoon, S. S. (2021). Clinical outcomes in high-risk pregnancies due to advanced maternal age. Journal of women’s health, 30(2), 160-167.
- Bisri, D. Y., & Bisri, T. (2025). Preeklampsia dan Risiko Penyakit Kardiovaskuler di Masa Depan. Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia, 8(1), 61-68.
- https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/22438-advanced-maternal-age

Sister secara biologis wanita usia produktif, terhitung sekitar umur 15 hingga 44 tahun, untuk itu menjaga kesehatan adalah kunci untuk menjalani hidup yang aktif dan berkualitas. Ini bukan hanya tentang mengobati penyakit saat sudah muncul, tetapi juga tentang pencegahan dan deteksi dini. Karena perawatan ini juga berdampak pada kesehatan wanita terutama pada kesehatan reproduksi.
Pemeriksaan Rutin dan Konseling yang Penting bagi Kesehatan Reproduksi Wanita
Menjaga kesehatan reproduksi bukan hanya soal kehamilan. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan secara menyeluruh melalui pemeriksaan rutin dan konseling dengan tenaga medis. Beberapa poin penting yang sebaiknya dibicarakan dan dilakukan secara berkala antara lain:
Konseling Kesehatan Reproduksi
Diskusi tentang pilihan kontrasepsi, perencanaan kehamilan (preconception care), hingga kesiapan menjadi orang tua merupakan bagian penting dari kunjungan ke dokter. Tenaga kesehatan juga sebaiknya secara aktif menanyakan rencana kehamilan kepada pasien wanita usia reproduktif, untuk memastikan dukungan dan intervensi yang tepat sejak awal.
Pemeriksaan Panggul Rutin
Terkait pemeriksaan panggul pada wanita tanpa gejala, masih terdapat perbedaan pandangan. Beberapa organisasi medis tidak merekomendasikannya secara rutin karena belum ada bukti yang cukup kuat, sementara yang lain tetap menyarankannya dalam konteks tertentu. Maka, penting bagi setiap wanita untuk berdiskusi dengan dokternya terkait kebutuhan dan manfaat pemeriksaan ini secara individual.
Pemeriksaan Skrining yang Direkomendasikan
Sebagai bagian dari perawatan kesehatan primer, berikut beberapa jenis skrining yang penting dilakukan secara rutin oleh wanita usia produktif:
- Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah: Skrining terhadap obesitas dan faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi dan kolesterol sangat krusial.
- Kesehatan Mental: Pemeriksaan rutin untuk mendeteksi gejala depresi perlu dilakukan karena gangguan mental sering tidak terlihat tapi berdampak besar.
- Kekerasan dalam Rumah Tangga: Skrining terhadap kekerasan pasangan intim dapat membantu deteksi dini dan penyediaan dukungan yang dibutuhkan.
- Kanker Serviks: Pemeriksaan Pap smear dan/atau tes HPV sangat dianjurkan untuk mendeteksi dini risiko kanker serviks.
- Penyakit Infeksi: Tes skrining untuk HIV dan Hepatitis C direkomendasikan, terutama bagi individu dengan faktor risiko tertentu.
- Gaya Hidup: Evaluasi kebiasaan seperti merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obatan terlarang perlu dilakukan sebagai bagian dari promosi gaya hidup sehat.
Pemeriksaan dan konseling yang dilakukan secara rutin dapat membantu deteksi dini berbagai masalah kesehatan dan memberi kesempatan intervensi lebih cepat. Jangan ragu untuk berdiskusi terbuka dengan dokter agar perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pribadi dan kondisi kesehatan masing-masing.
Menjaga kesehatan di usia produktif adalah investasi untuk masa depan. Dengan melakukan skrining dan konseling yang tepat, wanita dapat mencegah penyakit, mendeteksi masalah lebih awal, dan menjalani hidup yang lebih sehat dan bahagia.
Referensi
Paladine, H. L., Ekanadham, H., & Diaz, D. C. (2021). Health maintenance for women of reproductive age. American Family Physician, 103(4), 209-217.

Ketika kita berbicara tentang kesuburan wanita, usia ovarium atau usia indung telur sering dianggap sebagai penyebab utama masalah kesuburan. Secara tradisional, kita tahu bahwa kemampuan reproduksi wanita mulai menurun di pertengahan usia 30-an, menstruasi mulai tidak teratur di pertengahan 40-an, dan akhirnya kesuburan berhenti sama sekali sebelum mencapai menopause di awal 50-an. Semua ini dikaitkan dengan penurunan jumlah dan kualitas sel telur (oosit) seiring bertambahnya usia.
Pada artikel kali ini MDG akan membahas lebih lanjut bagaimana proses ini terjadi, dan bagaimana peran yang dimiliki. Baca sampai akhir ya
Ketahui Apa saja Faktor-faktor Penuaan Ovarium
Kenapa Peluang Kehamilan Bisa Menurun Seiring Usia?
Sister, pernah nggak sih kepikiran… kenapa makin bertambah usia, peluang untuk hamil jadi makin kecil?
Ternyata jawabannya nggak cuma soal jumlah sel telur yang berkurang. Di balik itu, ada proses biologis yang kompleks yang secara perlahan memengaruhi fungsi ovarium kita.
Setidaknya ada beberapa proses penting yang perlu sister pahami:
Mitokondria dan Stres Oksidatif
Mitokondria dikenal sebagai “pembangkit energi” dalam sel. Tapi seiring bertambahnya usia, fungsi mitokondria di sel-sel ovarium bisa menurun. Akibatnya, sel ovarium jadi kurang optimal dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, tubuh kita juga bisa mengalami stres oksidatif, yaitu kondisi saat radikal bebas dalam tubuh lebih banyak daripada antioksidan. Ketidakseimbangan ini yang juga bisa dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup dapat merusak sel-sel ovarium dan mempercepat penuaan.
Perubahan di Lingkungan Seluler
Indung telur nggak cuma terdiri dari sel telur, tapi juga dikelilingi oleh jaringan pendukung yang disebut matriks ekstraseluler.
Bayangkan ini seperti “lantai dan tembok” yang menopang dan mengatur lingkungan kerja sel-sel ovarium. Nah, seiring bertambahnya usia, bagian pendukung ini juga bisa mengalami perubahan. Kalau struktur pendukungnya terganggu, maka sel-sel ovarium pun jadi nggak bekerja seefisien dulu dan itu bisa berdampak pada kesuburan.
Peran Sel Imun
Jaringan pendukung utama di indung telur yang disebut stroma ovarium juga dihuni oleh sel-sel imun. Baik dari sistem kekebalan bawaan maupun adaptif, sel-sel ini ikut berperan dalam proses penuaan ovarium. Jadi, sistem imun kita bukan cuma bertugas melawan penyakit, tapi juga bisa memengaruhi bagaimana organ reproduksi menua.
Memahami semua proses ini sangat krusial, sister. Karena kalau kita tahu apa yang terjadi di dalam tubuh, kita bisa lebih siap dalam merancang strategi pengobatan atau perawatan yang tepat terutama untuk memperlambat penuaan ovarium.
Mengapa Penting Menjaga Kesehatan Ovarium?
Menjaga kesehatan ovarium, terutama dengan memperlambat proses penuaannya, bukan cuma soal memperpanjang masa subur. Lebih dari itu, dampaknya bisa sangat luas.
Kalau fungsi ovarium tetap optimal, kita juga bisa meringankan berbagai efek samping menopause yang sering bikin tidak nyaman seperti masalah pada tulang dan otot (sistem muskuloskeletal), gangguan jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskular), hingga keluhan pada sistem saraf.
Jadi, menjaga ovarium bukan cuma soal “bisa punya anak atau tidak”, tapi soal menjaga kualitas hidup perempuan di usia yang lebih matang. Supaya tetap sehat, aktif, dan bisa menikmati hidup dengan lebih baik di masa-masa penting kedepannya. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Camaioni, A., Ucci, M. A., Campagnolo, L., De Felici, M., Klinger, F. G., & Italian Society of Embryology, Reproduction and Research (SIERR). (2022). The process of ovarian aging: it is not just about oocytes and granulosa cells. Journal of assisted reproduction and genetics, 39(4), 783-792.

Masalah kesuburan seringkali dikira cuma urusan perempuan. Padahal, kenyataannya, hampir setengah dari kasus infertilitas juga melibatkan pihak pria. Meski laki-laki seringkali dibebankan sebagai pencari nafkah sehingga seringkali tidak terlihat jika mentalnya juga terganggu!
Padahal ternyata ketika seorang pria dinyatakan mengalami masalah kesuburan, ini bukan cuma soal hasil pemeriksaan medis tapi juga bisa mengguncang sisi emosional dan mental mereka. Artikel kali ini akan membahas tentang ini jadi baca sampai akhir ya!
Bagaimana Laki-laki yang Terdampak dengan Stigma Infertilitas
Laki-laki yang terserang infertilitas, mereka juga banyak yang merasakan kekecewaan yang mendalam hal ini disebabkan oleh tubuh sendiri nggak berfungsi seperti yang diharapkan. Banyak pria yang kemudian merasa gagal, minder, bahkan mempertanyakan harga dirinya sebagai laki-laki.
Perasaan seperti sedih, kecewa, cemas, atau marah bisa muncul begitu saja. Tapi sayangnya, nggak semua pria merasa nyaman untuk mengungkapkan itu. Budaya kita cenderung menuntut laki-laki untuk “kuat” dan “tegar”, padahal di dalam hati mereka bisa saja sedang goyah.
Lalu Sikap Apa yang Sebaiknya diAmbil?
Mengetahui penyebab infertilitas memang penting untuk pengobatan, tapi dalam prosesnya, menyalahkan salah satu pihak justru memperburuk keadaan. Karena nyatanya, baik pria yang punya gangguan kesuburan maupun pria yang pasangannya mengalami gangguan serupa, sama-sama bisa merasakan tekanan mental yang besar.
Infertilitas bukan hanya masalah fisik tapi juga pengalaman emosional yang kompleks. Dan siapa pun bisa merasa terbebani oleh hal ini, apapun penyebabnya.
Sering kali, pria merasa harus menyembunyikan emosi demi menjaga pasangan. Tapi justru di situlah letak bahayanya. Emosi yang dipendam bisa berubah jadi stres berkepanjangan, bahkan gangguan mental seperti depresi atau kecemasan.
Itulah kenapa penting bagi kita semua untuk lebih peka dan terbuka. Pasangan, keluarga, bahkan tenaga medis sebaiknya memberi ruang bagi pria untuk bercerita. Menyediakan dukungan emosional, bukan hanya fokus pada solusi medis.
Yang tidak kalah penting paksu juga membutuhkan Konseling, komunitas, atau sekadar percakapan yang hangat bisa jadi bentuk dukungan yang berarti. Karena mereka juga butuh tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Menghadapi masalah kesuburan memang tidak mudah. Tapi dengan dukungan yang tepat, proses ini bisa dilalui dengan lebih kuat secara fisik maupun mental. Karena pada akhirnya, perjuangan untuk punya anak bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal keberanian untuk terus berharap… dan saling menguatkan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Biggs, S. N., Halliday, J., & Hammarberg, K. (2024). Psychological consequences of a diagnosis of infertility in men: a systematic analysis. Asian journal of andrology, 26(1), 10-19.

Kita sering mendengar tentang bagaimana gaya hidup ibu selama kehamilan memengaruhi kesehatan anak. Namun, pernahkah sister dan paksu berpikir bahwa gaya hidup seorang ayah, bahkan sebelum fertilisasi atau konsepsi, bisa menjadi penentu penting bagi kesehatan keturunannya? Penelitian terbaru semakin menunjukkan bahwa peran ayah dalam mewariskan “jejak” kesehatan jauh lebih besar dari yang kita kira. Yuk bahas lebih lanjut!
Hubungannya Lingkungan dengan Kesehatan Reproduksi
Lingkungan kita dipenuhi dengan berbagai faktor gaya hidup dan bahan kimia yang dapat menjadi ancaman serius bagi sistem reproduksi manusia. Paparan ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memunculkan kekhawatiran tentang bagaimana perubahan pada sel-sel reproduksi (gamet) orang tua dapat diturunkan ke anak dan memengaruhi pertumbuhan serta perkembangan embrio secara negatif.
Studi epidemiologi memang sering berfokus pada hubungan antara paparan ibu dan kesehatan anak. Namun, paparan pra-konsepsi pada ayah jauh lebih jarang dipertimbangkan, padahal ini adalah penentu kesehatan keturunan yang sangat penting.
Jadi, bagaimana gaya hidup seorang ayah bisa memengaruhi anaknya?
Salah satu jawabannya ada pada epigenetika yaitu perubahan yang memengaruhi aktivitas gen tanpa harus mengubah urutan DNA itu sendiri. Paksu bisa membayangkannya seperti sakelar on/off yang menentukan gen mana yang “menyala” atau “tidak” dalam tubuh.
Nah, berbagai paparan lingkungan seperti polusi, rokok, pestisida, hingga pola makan ternyata bisa memicu perubahan epigenetik pada sperma pria. Informasi epigenetik ini bersifat penting karena bisa diturunkan ke anak dan memengaruhi bagaimana gen-gen bekerja selama perkembangan embrio.
Salah satu mekanisme epigenetik yang paling banyak diteliti adalah metilasi DNA. Proses ini sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan, baik pada sel tubuh maupun pada sperma. Artinya, lingkungan sekitar bukan hanya berdampak pada kesehatan pria secara umum, tapi juga bisa meninggalkan jejak biologis yang dibawa ke generasi berikutnya.
Mengapa Sperma Sangat Rentan?
Sperma terus-menerus diproduksi dari sel punca spermatogonia sepanjang hidup seorang pria dewasa. Sel punca ini juga berada di luar barier darah-testis, yang berarti mereka lebih rentan terhadap serangan dari lingkungan. Ini menjadikan sperma sebagai “cermin” yang dapat merefleksikan paparan lingkungan yang dialami seorang pria.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah, pola metilasi DNA sperma yang berubah ini dapat dipertahankan sepanjang perkembangan embrio. Pada akhirnya, ini bisa menyebabkan gangguan dan bahkan membuat keturunan lebih rentan terhadap penyakit tertentu.
Memahami bagaimana gaya hidup ayah dapat memengaruhi kesehatan anak adalah langkah penting untuk pencegahan dan pengobatan di masa depan.
Kesuburan dan kesehatan keturunan bukan hanya ditentukan oleh ibu, tapi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi tubuh dan gaya hidup seorang ayah. Fakta bahwa sperma menyimpan jejak paparan lingkungan dan gaya hidup pria menegaskan pentingnya perhatian terhadap kesehatan reproduksi sejak jauh sebelum kehamilan direncanakan.
Artinya, menjaga pola makan, menghindari paparan zat kimia berbahaya, mengelola stres, dan menerapkan gaya hidup sehat bukan hanya demi diri sendiri, tapi juga demi generasi selanjutnya.
Sudah saatnya sister dan paksu harus berhenti menganggap urusan reproduksi sebagai tanggung jawab satu pihak saja. Karena nyatanya, keputusan dan kebiasaan hari ini bisa meninggalkan jejak biologis untuk masa depan anak-anak kita. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Greeson, K. W., Crow, K. M., Edenfield, R. C., & Easley IV, C. A. (2023). Inheritance of paternal lifestyles and exposures through sperm DNA methylation. Nature Reviews Urology, 20(6), 356-370.

Banyak pasangan yang mendambakan kehadiran si kecil, tapi kadang terkendala masalah kesuburan terutama dari sisi laki-laki. Belakangan, suplemen jadi bahan obrolan hangat. Katanya, bisa bantu meningkatkan kesuburan pria. Tapi… bener nggak sih?
Beberapa Suplemen Memang Pengaruhi Sperma, tapi Nggak Semuanya
Faktanya, memang ada beberapa suplemen yang menunjukkan potensi dalam memperbaiki kualitas sperma. Misalnya:
- Zinc dan Asam Folat: Kombinasi ini disebut-sebut bisa meningkatkan jumlah sperma.
- Selenium, Carnitine, dan Koenzim Q10: Dikenal membantu meningkatkan pergerakan sperma alias motilitas.
- Alpha-lipoic acid: Studi oleh Michaelsen (2025) menemukan bahwa zat ini berpotensi memperbaiki bentuk sperma (morfologi).
Tapi yang menarik, ada juga studi yang lebih besar dan luas tentang antioksidan, yang memang banyak digunakan karena mudah didapat dan terjangkau.
Suplemen Antioksidan dan Kesuburan Pria – Apa Kata Studi?
Sebuah tinjauan sistematis menemukan bahwa suplementasi antioksidan bisa memberikan dampak positif pada berbagai aspek kesuburan pria, termasuk:
- Peningkatan parameter sperma menurut standar WHO,
- Hasil program bayi tabung (ART),
- Hingga angka kelahiran hidup (live-birth rate).
Beberapa kandungan yang dinilai paling bermanfaat meliputi Carnitine, Vitamin C dan E, N-acetyl cysteine, CoQ10, Selenium, Zinc, Asam Folat, dan Lycopene. Meski begitu, tetap ada beberapa studi yang menunjukkan hasil yang tidak terlalu signifikan pada parameter tertentu.
Jadi, Suplemen Boleh Dikonsumsi, Tapi Jangan Jadi Satu-satunya Harapan
Kesimpulannya, suplemen terutama antioksidan punya potensi membantu, tapi tetap bukan solusi tunggal. Gaya hidup sehat, pola makan seimbang, dan manajemen stres tetap jadi fondasi utama. Kalau sudah mencoba tapi belum berhasil, sister dan paksu disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis ya!
Karena masalah kesuburan pria, langkah terbaik adalah berkonsultasi langsung dengan dokter atau ahli kesuburan. Mereka bisa melakukan pemeriksaan menyeluruh, mencari tahu penyebab pastinya, dan memberikan rekomendasi penanganan yang paling tepat dan berbasis bukti ilmiah. Jangan mudah tergiur dengan klaim suplemen tanpa dasar yang kuat ya! Setelah mengetahui kasus paksu maka langkah selanjutnya adalah dapat dipersonalisasi suplemen apa yang baik dikonsumsi. Untuk informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Dimitriadis, F., Borgmann, H., Struck, J. P., Salem, J., & Kuru, T. H. (2023). Antioxidant supplementation on male fertility—a systematic review. Antioxidants, 12(4), 836.
- Michaelsen, M. P., Poulsen, M., Bjerregaard, A. A., Borgstrøm, M., Poulsen, L. K., Chortsen, M. B., … & Kesmodel, U. S. (2025). The Effect of Dietary Supplements on Male Infertility in Terms of Pregnancy, Live Birth, and Sperm Parameters: A Systematic Review and Meta-Analysis. Nutrients, 17(10), 1710.

Infeksi Human Papillomavirus (HPV) adalah masalah kesehatan global yang umum di antara pria dan wanita usia produktif. Virus ini tidak hanya terkait dengan lesi epitel dan kanker, tetapi juga memiliki hubungan yang signifikan dengan berbagai efek merugikan pada fungsi reproduksi. MDG akan membahas secara mendalam bagaimana infeksi HPV, khususnya tipe risiko tinggi (HR HPV), dapat memengaruhi setiap tahap reproduksi manusia.
HPV dan Kesuburan
Infeksi HPV, terutama oleh High-Risk Human Papillomavirus (HR HPV), telah terbukti memengaruhi berbagai tahapan reproduksi, menyebabkan serangkaian hasil yang tidak menguntungkan. Dampak-dampak ini mencakup:
- Penurunan Kesuburan Pria (Infertilitas Pria): Infeksi HPV pada semen dapat menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada sperma, mengurangi potensi fertilisasinya.Sel sperma yang terinfeksi HPV bahkan dapat mentransfer virus ke plasenta dan sel telur.
- Gangguan Kesuburan Pasangan: Infeksi HPV dapat meningkatkan apoptosis blastokista dan mengurangi implantasi sel trofoblas pada endometrium, yang pada akhirnya mengganggu kesuburan pasangan.
- Cacat Perkembangan Embrio dan Janin: HPV juga terkait dengan peningkatan risiko keguguran spontan dan kelahiran prematur, menunjukkan dampak serius pada perkembangan embrio dan janin.
Meskipun mekanisme molekuler pasti bagaimana infeksi HPV terlibat dalam masalah ini masih belum sepenuhnya jelas, HPV-terkait infertilitas dapat dilihat sebagai Janus, dewa berwajah dua. Satu sisi mencerminkan respons kekebalan anti-HPV, sementara sisi lain menunjukkan efek patogenik langsung dari HPV, khususnya HR HPV, pada sel yang terinfeksi/bereplikasi.
Peran Respons Imun dan Harapan dari Vaksinasi
Baik infertilitas pria maupun wanita juga dapat disebabkan oleh respons kekebalan anti-HPV yang terbentuk selama infeksi alami. Respons ini dapat memediasi pembersihan spermatozoa, oosit, blastula, dan blastokista yang terinfeksi HPV, bahkan hingga penolakan embrio yang terinfeksi HPV (penyakit graft-versus-host maternal terhadap janin yang terinfeksi HPV). Lalu apa solusinya?
Hal ini dapat diupayakan agar terhindar dari HPV, salah satunya melalui vaksinasi HPV dengan melakukan vaksinasi dapat mencegah jenis infertilitas ini, dan bahkan berpotensi membalikkan dampaknya bagi mereka yang sudah terinfeksi HPV. Pencegahan ini menjadi kunci untuk menjaga kesehatan reproduksi di masa depan.
HPV bukan hanya ancaman serius terhadap risiko kanker, tetapi juga memainkan peran signifikan dalam masalah infertilitas pada pria dan wanita. Memahami mekanisme kompleks di balik dampak HPV pada kesuburan sangat penting untuk pengembangan strategi pencegahan dan pengobatan yang lebih efektif. Dengan terus meningkatkan kesadaran dan akses terhadap vaksinasi HPV, kita dapat melindungi generasi mendatang dari dampak merugikan virus ini pada kesuburan dan kesehatan reproduksi secara keseluruhan. Tapi sebelum melakukan vaksinasi HPV harus ada yang sister dan paksu perhatikan. Karena Vaksin yang berperan untuk mencegah virus HPV penyebab kanker serviks ini tidak dianjurkan bagi ibu hamil. Jika vaksin HPV telah sempat diberikan sebelum hamil, pemberian sisa dosis vaksin pun dapat ditunda hingga melahirkan. Jadi jangan lupa tetap harus berkonsultasi dengan dokter ya sister!
Referensi
- Isaguliants, M., Krasnyak, S., Smirnova, O., Colonna, V., Apolikhin, O., & Buonaguro, F. M. (2021). Genetic instability and anti-HPV immune response as drivers of infertility associated with HPV infection. Infectious agents and cancer, 16(1), 29.
- https://www.alodokter.com/jangan-salah-kenali-vaksin-yang-diperbolehkan-dan-dilarang-saat-hamil#:~:text=Vaksin%20yang%20berperan%20untuk%20mencegah,tidak%20dianjurkan%20bagi%20ibu%20hamil.