Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Buat banyak pasangan, perjalanan menuju kehamilan sering kali terasa panjang dan melelahkan. Walau teknologi seperti IVF sudah semakin canggih, tingkat keberhasilannya tetap belum bisa dibilang tinggi. Karena itu, banyak perempuan mulai melirik terapi tambahan untuk membantu prosesnya baik untuk meningkatkan peluang keberhasilan, maupun menjaga ketenangan diri selama menjalani program. Yuk pahami lebih lanjut!
Saat Teknologi Saja Belum Cukup
Meskipun program seperti IVF atau IUI memberikan harapan besar, tidak sedikit perempuan yang merasa terbebani oleh tekanan emosional, stres, bahkan rasa lelah secara fisik. Situasi ini membuat mereka mencari cara lain yang bisa membantu tubuh dan pikiran agar tetap seimbang.
Pendekatan tambahan seperti Pengobatan Tradisional Tiongkok (Traditional Chinese Medicine/TCM) dan Mind-Body Intervention (MBI) mulai banyak dipertimbangkan bukan sebagai pengganti pengobatan medis, tapi sebagai pelengkapnya.
Jenis Terapi yang Paling Sering Dicoba
Beberapa terapi tambahan yang populer di kalangan perempuan yang sedang menjalani program hamil antara lain:
- Akupuntur atau akupresur, untuk membantu memperlancar sirkulasi energi dan menenangkan sistem saraf.
- Yoga dan meditasi, yang berfokus pada keseimbangan pikiran dan tubuh.
- Terapi tubuh seperti pijat relaksasi, untuk membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan kualitas tidur.
Banyak perempuan merasa lebih tenang, lebih fokus, dan punya energi positif setelah menjalani terapi-terapi tersebut. Meski efek langsung terhadap keberhasilan IVF masih diteliti, dampaknya terhadap kesehatan mental dan kualitas hidup sudah cukup terlihat nyata.
Kurangnya Informasi Jadi Hambatan
Menariknya, sebagian besar perempuan yang belum mencoba terapi tambahan ini bukan karena tidak percaya, tetapi karena kurang tahu. Mereka jarang mendapatkan informasi langsung dari tenaga medis tentang metode seperti akupuntur atau meditasi. Padahal, banyak yang sebenarnya ingin tahu lebih jauh termasuk keamanan, waktu terbaik untuk menjalani, dan apakah ada pengaruh terhadap pengobatan utama mereka.
Hal ini menunjukkan pentingnya komunikasi terbuka antara dokter dan pasien, agar pasangan yang sedang berjuang punya pemahaman yang lebih menyeluruh tentang pilihan yang tersedia.
Bukan Sekadar Meningkatkan Peluang Hamil
Terapi tambahan bukan hanya soal meningkatkan angka keberhasilan IVF. Lebih dari itu, tujuannya adalah membantu perempuan merasa lebih tenang, terkendali, dan kuat secara emosional dalam menjalani proses yang tidak mudah ini.
Dalam banyak kasus, menjalani promil bisa membuat seseorang merasa seperti kehilangan kendali atas tubuh dan hidupnya sendiri. Nah, terapi seperti yoga, meditasi, atau akupuntur bisa membantu mereka menemukan kembali keseimbangan agar perjalanan menuju dua garis terasa lebih lembut dan manusiawi.
Perjalanan menuju kehamilan bukan hanya urusan medis, tapi juga perjalanan batin. Menggabungkan pendekatan modern dengan terapi tradisional atau relaksasi bisa menjadi cara yang bijak untuk menjaga keseimbangan tubuh dan pikiran.
Selama dilakukan dengan panduan yang tepat, terapi pelengkap seperti TCM atau MBI bisa menjadi sahabat baik dalam proses promil bukan menggantikan pengobatan, tapi membantu setiap perempuan merasa lebih utuh dalam perjuangannya. Buat sister yang akan melakukan program hamil jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan yang menyeluruh ya, semoga berhasil. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
Serri, O., Meunier, A., Bouet, P. E., El Hachem, H., Liu, B., & May-Panloup, P. (2024). THE USE OF COMPLEMENTARY PRACTICES BY PATIENTS UNDERGOING MEDICALLY ASSISTED REPRODUCTION: The place of Chinese medicine and related practices. medRxiv, 2024-07.

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) merupakan salah satu gangguan endokrin paling umum yang memengaruhi 4–21% perempuan usia reproduktif. Kondisi ini ditandai oleh kombinasi antara hiperandrogenisme, gangguan ovulasi, dan morfologi ovarium polikistik.
Menurut kriteria Rotterdam ESHRE/ASRM 2003, sindrom ovarium polikistik (PCOS) dibagi menjadi empat fenotipe utama, yaitu fenotipe A, B, C, dan D. Fenotipe A atau tipe klasik memiliki tiga ciri sekaligus: oligo/anovulasi (gangguan ovulasi), hiperandrogenisme (kadar hormon androgen tinggi), dan gambaran ovarium polikistik (PCOM) di USG. Fenotipe B memiliki oligo/anovulasi dan hiperandrogenisme, tetapi tidak menunjukkan gambaran ovarium polikistik. Fenotipe C disebut tipe ovulasi karena meskipun terdapat hiperandrogenisme dan PCOM, siklus haidnya masih teratur. Sementara itu, fenotipe D merupakan tipe non-hyperandrogenic, ditandai dengan oligo/anovulasi dan PCOM tanpa peningkatan kadar androgen.
Perempuan dengan PCOS sering kali memiliki risiko lebih tinggi terhadap Ovarian Hyperstimulation Syndrome (OHSS) saat menjalani stimulasi ovarium menggunakan gonadotropin. Hal ini terutama dialami oleh fenotipe A dan B yang memiliki kadar anti-Müllerian hormone (AMH) sangat tinggi, sehingga lebih sensitif terhadap stimulasi.
Mengapa OHSS Bisa Terjadi?
OHSS merupakan komplikasi iatrogenik akibat stimulasi ovarium berlebihan. Kondisi ini menyebabkan ovarium membesar dan cairan berpindah ke rongga peritoneum, yang dalam kasus berat bisa mengancam jiwa.
Tantangan utama bagi klinisi adalah menyeimbangkan antara keberhasilan stimulasi ovarium dan pencegahan OHSS. Karena itu, pendekatan yang bersifat individual menjadi kunci terutama dengan mempertimbangkan kadar AMH dan indeks massa tubuh pasien sebelum menentukan dosis gonadotropin.
Follitropin Delta: Generasi Baru dengan Algoritma Dosis Individual
Berbeda dengan gonadotropin konvensional, follitropin delta adalah recombinant FSH generasi baru yang menggunakan algoritma dosis individual berdasarkan berat badan dan kadar AMH pasien. Pendekatan ini dirancang agar setiap pasien menerima dosis yang sesuai dengan kapasitas ovarium mereka tidak kurang, tapi juga tidak berlebihan.
Sejumlah uji klinis sebelumnya menunjukkan bahwa follitropin delta memiliki tingkat keberhasilan kehamilan yang sebanding dengan follitropin alfa, namun dengan profil keamanan yang lebih baik terhadap risiko OHSS.
Pendekatan berbasis algoritma individu dengan follitropin delta terbukti aman dan efektif untuk pasien PCOS, bahkan pada mereka dengan risiko tinggi seperti fenotipe A dan B. Dosis yang disesuaikan secara personal tidak hanya meminimalkan risiko OHSS, tetapi juga mempertahankan hasil stimulasi ovarium yang optimal.
Bagi klinisi, ini menjadi langkah maju dalam personalisasi terapi kesuburan. Bagi pasien, ini memberikan harapan bahwa keamanan dan efektivitas kini dapat berjalan seiring.
Referensi
Yacoub, S., Cadesky, K., & Casper, R. F. (2021). Low risk of OHSS with follitropin delta use in women with different PCOS phenotypes: a retrospective case series. Journal of Ovarian Research, 14(1), 1–9.

Infertilitas pria menjadi masalah global yang memengaruhi hingga 15% pasangan di seluruh dunia, dan setidaknya setengahnya disebabkan oleh faktor pria. Meski pengobatan modern sudah banyak berkembang mulai dari terapi hormon, antioksidan, sampai teknologi reproduksi berbantu (ART) namun hasilnya belum selalu memuaskan.
Banyak kasus seperti oligoasthenozoospermia idiopatik (IOA), yaitu jumlah sperma rendah dan gerak sperma yang lambat tanpa penyebab jelas, masih menjadi tantangan besar. Selain itu, varikokel dan kerusakan akibat kemoterapi juga sering kali membuat pengobatan Barat menemui batas.
Oriental Medicine: Menyentuh Akar Energi Tubuh
Selama ribuan tahun, pengobatan oriental (Traditional Chinese Medicine / TCM) sudah digunakan untuk membantu pria yang kesulitan memiliki keturunan.
Berbeda dengan pendekatan Barat yang menargetkan satu penyebab, TCM bekerja dengan multi-komponen dan multi-target, mengembalikan keseimbangan energi vital tubuh (qi).
Dalam pandangan TCM, organ ginjal berperan penting dalam kesuburan pria.
Ginjal dianggap menyimpan “esensi kehidupan” dan mengatur fungsi reproduksi.
Jika energi ginjal (kidney qi) melemah terutama ketika Yin dan Yang tidak seimbang maka kualitas sperma bisa menurun, baik dari segi jumlah maupun motilitas.
Ketika Herbal Bekerja Melampaui Gejala
Penelitian modern mulai menelusuri bagaimana herbal oriental memengaruhi sistem imun dan spermatogenesis (pembentukan sperma). Beberapa formula tradisional terbukti memperbaiki kerusakan testis, menurunkan stres oksidatif, dan menyeimbangkan hormon seks pria.
Varikokel dan Sirkulasi Darah Testis
Studi pada hewan menunjukkan bahwa Jiawei Runjing Decoction (JWRJD) ramuan hasil modifikasi dari Runjing Decoction mampu:
- Meningkatkan proliferasi sel germinal (calon sperma)
- Memperbaiki sirkulasi darah testis
- Meningkatkan jumlah sperma
Sedangkan Zishen Yutai Pill (ZYP), yang terdiri dari 15 bahan herbal, terbukti:
- Meningkatkan motilitas sperma
- Mengurangi kerusakan DNA sperma
- Menurunkan kadar IL-1β, yaitu penanda inflamasi testis
ZYP bahkan diketahui menekan aktivasi inflamasi NLRP3 inflammasome, mekanisme penting dalam peradangan testis akibat varikokel.
Imunologi dan Kesuburan: Kunci yang Sering Terlupakan
Penelitian ini juga menyoroti bagaimana TCM berinteraksi dengan sistem imun testis, terutama melalui mekanisme blood-testis barrier (BTB).
BTB berfungsi melindungi sel sperma dari serangan imun tubuh sendiri.
Ketika penghalang ini rusak misalnya akibat stres oksidatif, panas berlebih, atau inflamasi kronismaka spermatogenesis akan terganggu.
Beberapa senyawa herbal terbukti dapat:
- Melindungi struktur BTB
- Mengurangi stres oksidatif dan apoptosis (kematian sel)
- Menormalkan komunikasi antar sel Sertoli dan Leydig
Pendekatan ini menunjukkan bahwa TCM tidak hanya menargetkan “gejala infertilitas”, tapi menata ulang sistem imun dan keseimbangan energi tubuh secara menyeluruh.
Menemukan Titik Tengah antara Timur dan Barat
Walau banyak bukti ilmiah telah mendukung efektivitas herbal oriental dalam memperbaiki kualitas sperma dan keseimbangan hormon, mekanisme imunologisnya baru mulai dipahami. Namun satu hal jelas: pengobatan oriental bekerja dengan logika sistemik, bukan parsial.
Ketika Barat berfokus memperbaiki sel yang rusak, Timur mengajarkan bagaimana menjaga keharmonisan sistem yang menciptakan sel itu sendiri. Mungkin disanalah kunci untuk mengembalikan kesuburan secara alami bukan hanya dari sisi biologi, tapi juga energi kehidupan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Lin, C. J., Lai, C. H., Huang, Y. C., Lin, S. J. S., Tsai, Y. N., & Yu, M. H. (2025). Sweet Foods and Stasis Constitution of Chinese Medicine in Patients with Polycystic Ovary Syndrome. Journal of Medical Sciences, 45(2), 53-59.

Keguguran berulang (recurrent pregnancy loss/RPL) adalah pengalaman yang sangat menyedihkan bagi banyak pasangan. Umumnya, fokus pemeriksaan dan terapi lebih diarahkan pada pihak perempuan mulai dari hormon, anatomi rahim, sampai sistem imun. Padahal, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kondisi kesehatan dan kualitas sperma dari pihak laki-laki juga berperan besar dalam keberlangsungan kehamilan.
Selama ini, pemeriksaan untuk laki-laki sering terbatas pada analisis sperma dasar atau uji kromosom, sementara faktor-faktor lain seperti stres oksidatif, gaya hidup, hingga kondisi genetik jarang dievaluasi. Padahal, penelitian terbaru menegaskan bahwa paternal factors (faktor ayah) bisa menentukan apakah embrio mampu berkembang dengan sehat atau justru berhenti tumbuh di awal kehamilan.
Ketika Sperma Ikut Menentukan Viabilitas Embrio
Peneliti dari berbagai universitas di Eropa menemukan bahwa banyak kasus keguguran berulang berakar pada kerusakan DNA sperma, perubahan epigenetik, dan gangguan kualitas sel sperma akibat gaya hidup tidak sehat atau paparan lingkungan.
Kondisi seperti stres oksidatif ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh menjadi salah satu penyebab utama. Polusi, rokok, alkohol, pola makan tidak seimbang, sehingga penyakit metabolik seperti diabetes dapat memicu stres oksidatif yang merusak struktur DNA sperma. Akibatnya, sperma membawa informasi genetik yang tidak stabil, sehingga setelah pembuahan, embrio sulit berkembang secara normal dan lebih berisiko mengalami keguguran dini.
Genetika dan Epigenetika: Jejak yang Diturunkan dari Ayah
Selain kerusakan DNA, faktor genetik juga memainkan peran penting. Salah satu contohnya adalah translokasi kromosom, di mana dua kromosom bertukar segmen secara tidak seimbang. Meskipun pria dengan kondisi ini tampak sehat, sperma yang dihasilkan bisa membawa kelainan genetik yang menyebabkan keguguran berulang.
Lebih halus lagi, ada perubahan epigenetik yakni perubahan pada cara gen diatur tanpa mengubah urutan DNA itu sendiri. Perubahan epigenetik akibat stres oksidatif atau pola hidup buruk dapat memengaruhi ekspresi gen penting pada tahap awal pembentukan embrio. Artinya, bahkan sperma yang “terlihat normal” secara bentuk dan jumlah bisa saja membawa informasi yang mengganggu perkembangan janin.
Usia, Gaya Hidup, dan Lingkungan: Kombinasi yang Tak Bisa Diabaikan
Semakin bertambah usia, pria mengalami penurunan kualitas sperma, baik dari sisi jumlah, motilitas, maupun integritas DNA. Bersamaan dengan itu, kondisi kesehatan seperti obesitas, hipertensi, dan sindrom metabolik juga memperburuk stres oksidatif dalam tubuh.
Faktor lingkungan seperti paparan bahan kimia industri, pestisida, logam berat, dan radiasi turut memperburuk kualitas sperma. Semua hal ini jika tidak dikontrol berpotensi meningkatkan risiko keguguran meski proses pembuahan berhasil terjadi.
Setelah mengetahui fakta di atas sister jadi paham mengapa keguguran berulang bukan semata masalah dari sisi perempuan. Peran paternal terbukti krusial dalam menentukan keberhasilan kehamilan, terutama melalui kualitas DNA sperma, kondisi genetik, dan gaya hidup.
Dengan memasukkan evaluasi paternal ke dalam standar pemeriksaan klinis, diharapkan penanganan keguguran berulang bisa menjadi lebih tepat sasaran, personal, dan efektif.
Selain itu paksu juga sudah mulai mengambil Langkah sederhana seperti memperbaiki pola hidup, meminimalkan stres oksidatif, dan melakukan pemeriksaan mendalam pada sperma bisa menjadi titik awal untuk memperbesar peluang kehamilan yang sehat dan berkelanjutan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Kaltsas A, Zikopoulos A, Kojovic V, Dimitriadis F, Sofikitis N, Chrisofos M, Zachariou A. Paternal Contributions to Recurrent Pregnancy Loss: Mechanisms, Biomarkers, and Therapeutic Approaches. Medicina. 2024; 60(12):1920.

Penurunan cadangan ovarium (Diminished Ovarian Reserve, DOR) sering jadi tantangan bagi banyak perempuan yang sedang berjuang mendapatkan dua garis. Kondisi ini menunjukkan ovarium mulai berkurang kemampuannya menghasilkan sel telur yang cukup dan berkualitas. Akibatnya, peluang hamil ikut menurun baik secara alami maupun lewat IVF.
Dalam pengobatan modern, DOR sering dikaitkan dengan kadar AMH yang menurun dan FSH yang meningkat, menandakan fungsi ovarium yang melemah. Namun, dari perspektif pengobatan tradisional Tiongkok, masalah ini tidak hanya soal hormon, tapi juga aliran energi dan keseimbangan tubuh secara menyeluruh
Pendekatan “Mencegah Sebelum Sakit”
Konsep “preventive treatment of disease” sudah dikenal sejak ribuan tahun dalam pengobatan tradisional Tiongkok. Prinsipnya sederhana tapi kuat: menyeimbangkan tubuh sebelum penyakit berkembang.
Akupunktur berperan sebagai “penjaga keseimbangan” dengan cara:
- Menyeimbangkan Yin dan Yang, dua energi utama dalam tubuh.
- Melancarkan aliran darah dan energi (Qi) di meridian, terutama di area reproduksi.
- Menguatkan energi vital (Qi) agar tubuh lebih tahan terhadap stres dan gangguan.
- Menenangkan pikiran dan emosi, karena keseimbangan mental juga memengaruhi sistem reproduksi.
Dengan cara ini, akupunktur tidak hanya mengobati gejala, tapi juga memperkuat sistem tubuh dari dalam menjaga agar fungsi ovarium tidak semakin menurun.
Hubungan Meridian dan Organ Reproduksi
Dalam pengobatan tradisional Tiongkok, rahim dan ovarium terhubung erat dengan beberapa jalur energi utama (meridian) seperti:
- Ren dan Chong meridian, yang mengatur aliran darah dan siklus menstruasi.
- Liver meridian, yang bertanggung jawab menjaga kelancaran aliran Qi dan darah ke organ reproduksi.
- Kidney meridian, yang dianggap sebagai “akar kesuburan,” menyimpan energi dan esensi kehidupan.
- Spleen dan Heart meridian, yang mendukung pembentukan darah dan kestabilan emosi.
Kalau salah satu dari meridian ini terganggu, aliran Qi dan darah bisa tersendat — ibaratnya seperti pipa air yang tersumbat. Akibatnya, ovarium kehilangan suplai energi dan nutrisi yang dibutuhkan untuk mematangkan sel telur.
Bagaimana Akupuntur Membantu?
Penelitian terbaru (Pan et al., 2023) menjelaskan bahwa akupunktur dapat memengaruhi tubuh lewat beberapa mekanisme biologis, seperti:
- Menormalkan kadar hormon reproduksi (FSH, AMH, dan estradiol)
- Memperbaiki sirkulasi darah dan oksigen di ovarium
- Mengurangi stres oksidatif dan apoptosis (kematian sel) pada sel granulosa
- Meningkatkan kualitas dan kuantitas sel telur
- Memperbaiki siklus haid dan memperbaiki suasana hati
Studi-studi meta-analisis juga menemukan bahwa pasien DOR yang menjalani terapi akupunktur menunjukkan peningkatan jumlah folikel antral, ovulasi yang lebih teratur, dan peluang kehamilan yang lebih tinggi dibandingkan terapi medis tunggal.
Intinya, Akupunktur Bukan Sekadar “Tusuk Jarum”
Akupunktur bekerja sebagai terapi pendukung yang menyeimbangkan tubuh fisik dan mental agar lebih siap untuk hamil. Dengan menjaga aliran energi dan fungsi organ yang harmonis, tubuh menjadi lebih responsif terhadap pengobatan medis seperti IVF.
Pendekatan pengobatan tradisional Tiongkok mengingatkan kita bahwa kesehatan reproduksi bukan hanya tentang hormon, tapi tentang keseimbangan tubuh secara utuh dari meridian, organ, sampai pikiran. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi:
Pan, S.A., Murong, Z.M., Zhu, Y.L., Song, J.W., Chang, X.R., Liu, Y., & Yue, Z.H. (2023). Discussion on Relationship between Meridians and Viscera of Decreased Ovarian Reserve from the Perspective of “Preventive Treatment of Disease” by Acupuncture. World Journal of Traditional Chinese Medicine, 9(2), 111–122. DOI: 10.4103/2311-8571.378173

Celiac disease (CeD), atau penyakit celiac, dikenal sebagai gangguan autoimun yang dipicu oleh konsumsi gluten protein yang terdapat dalam gandum, barley, dan rye. Penyakit ini menyebabkan peradangan dan kerusakan pada usus halus, sehingga tubuh kesulitan menyerap nutrisi penting. Namun, tahukah kamu kalau dampak CeD ternyata bisa meluas hingga ke kesehatan reproduksi?
Artikel terbaru yang diterbitkan di jurnal Nutrients (2025) oleh Wieser dan koleganya, menyoroti kaitan antara celiac disease dan infertilitas, baik pada perempuan maupun laki-laki. Hasilnya? Menarik, tapi juga masih menyisakan banyak tanda tanya. Yuk pelajari lebih lanjut!
Celiac Disease dan Risiko Infertilitas
Pada penderita CeD terutama yang belum terdiagnosis atau tidak menjalani diet bebas gluten memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah kesuburan, seperti:
- Sulit hamil (unexplained infertility)
- Keguguran berulang
- Kelahiran prematur atau berat badan lahir rendah
CeD yang tidak tertangani dapat memicu peradangan kronis, gangguan hormonal, dan defisiensi nutrisi penting seperti zat besi, seng, dan asam folat semuanya berperan penting dalam fungsi reproduksi yang sehat.
Namun, tak semua penelitian sepakat. Beberapa studi berskala besar menemukan bahwa prevalensi infertilitas pada penderita CeD tidak jauh berbeda dengan populasi umum. Perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh variasi definisi infertilitas, ukuran sampel, dan metode diagnosis CeD yang digunakan (apakah berdasarkan antibodi atau biopsi usus).
Apa Kata Penelitian pada Perempuan?
Sejak 1970-an, para peneliti sudah mencurigai hubungan antara CeD dan infertilitas perempuan. Dalam beberapa studi terkini:
- Perempuan dengan infertilitas tanpa sebab yang jelas menunjukkan prevalensi antibodi CeD lebih tinggi dibanding kelompok kontrol sehat.
- Studi di India dan Brasil, misalnya, menemukan bahwa 5–10% perempuan infertil menunjukkan hasil positif terhadap antibodi anti-transglutaminase (TGA), indikator utama CeD.
- Menariknya, banyak dari mereka tidak memiliki gejala pencernaan sama sekali artinya CeD bisa tersembunyi di balik masalah reproduksi tanpa disadari.
Bagaimana dengan Laki-Laki?
Meski lebih jarang dibahas, CeD ternyata juga bisa memengaruhi kualitas sperma dan fungsi hormonal pria. Defisiensi nutrisi, peradangan sistemik, dan gangguan penyerapan zinc atau folat dapat menurunkan motilitas sperma dan menimbulkan disfungsi ereksi.
Menariknya, beberapa studi menemukan perbaikan signifikan setelah menjalani diet bebas gluten (gluten-free diet / GFD). Artinya, respons tubuh terhadap gluten mungkin juga berperan dalam kesehatan reproduksi pria.
Hingga saat ini, satu-satunya terapi efektif untuk CeD adalah diet bebas gluten seumur hidup. Banyak laporan kasus menunjukkan bahwa perempuan dengan infertilitas tak terjelaskan berhasil hamil setelah menerapkan GFD secara konsisten.
Meski belum bisa disebut “obat mujarab”, hasil ini memberi harapan bahwa mengelola CeD dengan tepat dapat memperbaiki fungsi reproduksi.
Celiac disease memang tidak selalu menjadi penyebab utama infertilitas, tapi pada sebagian individu terutama dengan kasus infertilitas yang tidak dapat dijelaskan CeD bisa menjadi faktor tersembunyi yang patut dicurigai. Jadi sister dan paksu dapat menggunakan pola makan bebas gluten secara konsisten karena berpotensi memperbaiki fungsi reproduksi pada pasien yang memiliki CeD aktif. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris,id
Referensi
Wieser, H., Ciacci, C., Soldaini, C., Gizzi, C., Pellegrini, L., & Santonicola, A. (2025). Fertility in Celiac Disease: The Impact of Gluten on Male and Female Reproductive Health. Nutrients, 17(9), 1575.

Studi terbaru oleh Šemeklienė dan Gradauskienė (2025) dari Lithuanian University of Health Sciences menyoroti bagaimana autoantibodi zat kekebalan yang seharusnya melindungi tubuh justru bisa mengganggu proses kehamilan, baik pada perempuan maupun laki-laki.
Apa Itu Autoimun dalam Konteks Kesuburan?
Biasanya, sistem imun bertugas mengenali dan melawan benda asing seperti virus atau bakteri. Namun, pada kondisi autoimun, sistem ini “salah sasaran”. Ia mengenali jaringan tubuh sendiri sebagai ancaman, lalu membentuk autoantibodi untuk menyerangnya.
Ketika reaksi ini terjadi di organ reproduksi, dampaknya bisa luas: Menghambat pematangan sel telur, Menurunkan kualitas sperma, Mengganggu implantasi embrio di rahim, Bahkan memicu keguguran berulang.
Peneliti memperkirakan mekanisme ini berperan pada sebagian kasus infertilitas yang tidak bisa dijelaskan (unexplained infertility)—yaitu ketika hasil pemeriksaan anatomi dan hormonal normal, tapi kehamilan tetap tak kunjung terjadi.
Jenis Autoantibodi yang Paling Sering Ditemukan
Beberapa autoantibodi terbukti berkaitan dengan gangguan kesuburan:
- Antinuclear Antibodies (ANA)
ANA menyerang inti sel dan sering ditemukan pada penderita penyakit autoimun seperti lupus. Studi menunjukkan ANA dapat memengaruhi kualitas oosit (sel telur) dan kemampuan embrio untuk menempel di rahim. Bahkan pada pasien IVF, kadar ANA yang tinggi dikaitkan dengan tingkat kegagalan implantasi lebih besar. Beberapa penelitian juga menunjukkan terapi imunosupresif ringan seperti prednison, aspirin, atau hydroxychloroquine bisa memperbaiki peluang kehamilan pada pasien dengan ANA positif. - Antisperm Antibodies (ASA)
Ditemukan pada laki-laki, ASA menyerang sperma sendiri. Akibatnya, sperma jadi mudah saling menempel, bergerak lambat, atau gagal membuahi sel telur. ASA sering muncul setelah infeksi, varikokel, atau operasi seperti vasektomi. Pada kasus seperti ini, teknologi seperti ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection) sering digunakan untuk melewati hambatan akibat ASA. - Antiphospholipid Antibodies (APL)
APL berkaitan dengan Antiphospholipid Syndrome (APS)—penyakit autoimun yang bisa menyebabkan pembekuan darah di pembuluh kecil, termasuk di plasenta.
Kondisi ini sering dikaitkan dengan keguguran berulang, kegagalan implantasi, dan komplikasi kehamilan seperti preeklamsia. - Antithyroid Antibodies (ATA)
Antibodi terhadap kelenjar tiroid (seperti anti-TPO dan anti-Tg) bisa muncul bahkan saat fungsi tiroid masih normal. Namun, keberadaannya dikaitkan dengan penurunan peluang hamil dan peningkatan risiko keguguran, kemungkinan karena memengaruhi keseimbangan hormon dan sistem imun lokal di endometrium. - Antiovarian dan Antiendometrial Antibodies (AOA & AEA)
Dua jenis antibodi ini menyerang jaringan ovarium dan lapisan rahim. Akibatnya, bisa terjadi gangguan pematangan folikel, penurunan cadangan ovarium, atau lingkungan rahim yang tidak ramah untuk implantasi.
Bagaimana Autoantibodi Mengganggu Proses Reproduksi?
Secara mekanistik, autoantibodi bisa mengganggu kesuburan lewat beberapa cara:
- Mengaktifkan sistem komplemen dan peradangan, yang dapat merusak jaringan ovarium atau endometrium.
- Melepaskan sitokin proinflamasi, menciptakan lingkungan rahim yang “tidak bersahabat” bagi embrio.
- Menghambat fungsi hormon, termasuk yang penting untuk ovulasi dan dukungan fase luteal.
- Mengganggu interaksi sel trofoblas dan endometrium, yang penting untuk proses implantasi.
Akibatnya, meskipun secara anatomi dan hormon tampak normal, proses biologis halus yang diperlukan untuk pembuahan bisa gagal di tingkat mikroskopik.
Namun, mereka juga menegaskan bahwa tidak semua pasien infertil perlu diperiksa autoantibodi. Pemeriksaan ini paling bermanfaat untuk mereka yang mengalami:
- Infertilitas tanpa sebab yang jelas (unexplained infertility).
- Kegagalan implantasi berulang.
- Keguguran berulang.
- Riwayat penyakit autoimun.
Apa Artinya untuk Praktik Klinik?
Pemahaman tentang infertilitas autoimun masih terus berkembang. Namun, beberapa pesan penting bisa diambil: Tes autoimun tidak perlu dilakukan secara rutin untuk semua pasien infertilitas. Tes seperti ANA, APL, atau ASA sebaiknya hanya dilakukan bila ada indikasi klinis kuat. Pendekatan individual sangat penting. Tidak semua antibodi positif berarti penyakit aktif. Interpretasi hasil harus mempertimbangkan konteks klinis dan riwayat pasien. Terapi harus terarah. Bila terbukti autoimunitas berperan, pengobatan dapat melibatkan imunomodulator, pengaturan hormon, hingga modifikasi gaya hidup seperti pengendalian stres dan pola makan antiinflamasi.
Autoimunitas kini diakui sebagai salah satu faktor tersembunyi yang dapat mengganggu kesuburan. Meski belum semua mekanisme terjelaskan sepenuhnya, bukti ilmiah menunjukkan bahwa autoantibodi tertentu—terutama ANA, ASA, APL, dan ATA—dapat memengaruhi kualitas gamet, implantasi, dan keberhasilan kehamilan. Bagi sister dan paksu yang mengalami infertilitas tanpa sebab jelas, pemahaman ini bisa menjadi langkah baru menuju diagnosis yang lebih akurat dan harapan baru untuk keberhasilan program hamil di masa depan. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id ya!
Referensi
- Šemeklienė, B., & Gradauskienė, B. (2025). Infertility and Auto-Antibodies: A Review. Antibodies, 14(3), 76.

Selama bertahun-tahun, pemahaman tentang kesuburan perempuan banyak bertumpu pada pengamatan langsung terhadap interaksi sperma dan sistem reproduksi perempuan. Salah satu metode klasik yang pernah populer adalah post-coital test (PCT)—sebuah prosedur yang dianggap mampu “mendeteksi kecocokan biologis” antara pasangan. Namun, kini, dunia medis beralih ke arah yang lebih dalam dan mikro: studi tentang mikrobiota reproduksi. Wah seperti apa ini? yuk pahami lebih lanjut sister!
Metode Lama: Post-Coital Test dan Logika Mekanis
Pada masa sebelum tahun 2000-an, PCT sering dijadikan alat untuk menilai apakah lendir serviks mendukung pergerakan sperma. Pemeriksaan dilakukan beberapa jam setelah hubungan seksual; lendir diambil dari serviks lalu diamati di bawah mikroskop. Sperma yang aktif menandakan kondisi yang “subur”.
Namun, seiring berkembangnya bukti ilmiah, keandalan PCT mulai dipertanyakan. Beberapa kelemahannya antara lain:
- Hasil yang tidak konsisten dan sangat operator-dependent, karena bergantung pada teknik pengambilan serta waktu pemeriksaan.
- Kurang mencerminkan kondisi fisiologis sebenarnya, sebab hanya menggambarkan interaksi sesaat, bukan kualitas lingkungan reproduksi secara keseluruhan.
- Tidak memiliki nilai prediktif yang kuat terhadap keberhasilan kehamilan alami maupun IVF.
Akhirnya, banyak panduan klinis (termasuk dari NICE dan ASRM) merekomendasikan untuk tidak lagi menggunakan PCT dalam evaluasi infertilitas.
Pergeseran Paradigma: Dari Mekanistik ke Ekologis
Jika paradigma lama menilai kesuburan secara mekanistik—apakah sperma bisa “menembus” lendir—maka paradigma baru memandang sistem reproduksi sebagai ekosistem biologis yang kompleks. Karena tubuh perempuan tidak lagi dilihat sebagai “ruang pasif” tempat sperma berjuang, melainkan sebagai lingkungan aktif yang memiliki keseimbangan biologis sendiri.
Keseimbangan ini salah satunya diatur oleh mikrobiota vagina dan endometrium, yaitu komunitas mikroorganisme yang hidup secara simbiotik.
Pendekatan Baru: Mikrobiota dan Keseimbangan Reproduksi
Penelitian dekade terakhir menemukan bahwa dominasi bakteri Lactobacillus di vagina berperan penting dalam menjaga pH optimal (sekitar 3,8–4,5) serta mencegah kolonisasi patogen. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sperma maupun implantasi embrio.
Sebaliknya, jika terjadi dysbiosis yakni ketidakseimbangan mikrobiota maka risiko terjadinya infertilitas, implantation failure, bahkan keguguran berulang meningkat.
Sebuah riset oleh Moreno dkk. (2016) menunjukkan bahwa endometrium dengan komposisi non-Lactobacillus-dominated memiliki tingkat keberhasilan implantasi yang jauh lebih rendah dibanding yang seimbang.
Menuju Era Diagnostik Reproduksi Presisi
Pendekatan mikrobiota membawa arah baru dalam evaluasi kesuburan: dari sekadar menilai fungsi mekanik menjadi memahami ekologi tubuh. Di masa depan, profil mikrobiota mungkin akan menjadi bagian rutin dari pemeriksaan infertilitas, berdampingan dengan analisis hormonal dan genetik.
Dengan memahami bahwa kesuburan bukan hanya soal “bertemunya sperma dan sel telur”, tetapi juga tentang lingkungan mikro yang sehat dan seimbang, kita sedang melangkah menuju pendekatan yang lebih personal, presisi, dan manusiawi. Bagaimana menarik bukan? sister jadi banyak mendapatkan harapan dari semua kemajuan ini. Informasi menarik lainnya jangan lupa follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Vitale, S. G., Ferrari, F., Ciebiera, M., Zgliczyńska, M., Rapisarda, A. M. C., Vecchio, G. M., … & Cianci, S. (2021). The role of genital tract microbiome in fertility: a systematic review. International journal of molecular sciences, 23(1), 180.