
Teknologi reproduksi berbantuan (TRB) telah menjadi topik yang sarat dengan dilema moral dan etika di berbagai komunitas agama. Para cendekiawan telah menunjukkan bagaimana keterbatasan moral dan peringatan yang diajukan banyak agama terhadap TRB menghambat pencarian bantuan medis bagi perempuan yang menghadapi infertilitas.
Apakah sister dan paksu juga mengalami keadaan tersebut? ketika bersama dengan komunitas atau ruang beragama? mengapa seperti itu? yuk pahami lebih lanjut!
Terjadinya Kesunyian dalam Dialog Infertilitas dan IVF
Infertilitas adalah isu yang kompleks, tidak hanya secara medis tetapi juga sosial dan psikologis. Namun, dalam komunitas beragama, pembicaraan mengenai infertilitas sering kali dilakukan dalam bentuk yang sangat umum, tanpa menyentuh aspek spesifik seperti prosedur medis yang tersedia, termasuk IVF. Studi empiris kualitatif menunjukkan bahwa umat paroki lebih cenderung berbicara tentang infertilitas secara luas, seperti tantangan emosional dan sosial yang dihadapinya, tetapi jarang membahas solusi medis secara rinci.
Di sisi lain, anggota pendeta juga cenderung tidak menyinggung larangan gereja terhadap IVF kecuali mereka secara eksplisit ditanya mengenai hal tersebut. Sikap ini dapat dianggap sebagai bentuk pendekatan pastoral yang lebih inklusif dan menghindari konflik langsung dengan jemaat yang mungkin mengalami kesulitan dalam hal kesuburan. Namun, absennya dialog yang terbuka juga dapat mengakibatkan kebingungan di kalangan jemaat tentang sikap resmi Gereja serta pilihan yang tersedia bagi mereka.
Mengapa cenderung tidak Disuarakan?
Ada beberapa alasan mengapa dialog tentang IVF dan infertilitas dalam komunitas beragama seperti Katolik cenderung terbatas:
- Ketakutan Akan Stigma dan Penilaian Sosial
Infertilitas masih dianggap sebagai isu yang sensitif, dan banyak pasangan merasa ragu untuk membicarakannya secara terbuka karena takut mendapatkan penilaian negatif dari lingkungan mereka. - Pendekatan Pastoral yang Tidak Konfrontatif
Para pendeta mungkin menghindari menyebutkan larangan IVF secara langsung agar tidak menambah beban emosional jemaat yang sedang menghadapi tantangan infertilitas. - Kurangnya Pemahaman tentang IVF di Kalangan Jemaat
Tanpa adanya dialog yang jelas, banyak umat Katolik mungkin tidak sepenuhnya memahami posisi Gereja terhadap IVF atau bahkan tidak menyadari bahwa ada larangan terkait prosedur tersebut. - Nilai-Nilai Tradisional yang Masih Dominan
Banyak pasangan Katolik masih memegang teguh ajaran bahwa anak adalah anugerah Tuhan yang harus diterima secara alami, bukan sebagai hasil intervensi medis.
Kesunyian dalam dialog mengenai IVF dan infertilitas di dalam komunitas Katolik mencerminkan dilema yang lebih luas antara ajaran agama dan kebutuhan medis. Di satu sisi, Gereja Katolik mempertahankan posisi moralnya terhadap teknologi reproduksi berbantuan. Namun, di sisi lain, banyak pasangan yang mengalami infertilitas merasa perlu mendapatkan informasi dan dukungan yang lebih terbuka.
Untuk mengatasi kesenjangan ini, diperlukan upaya dari kedua belah pihak: jemaat harus merasa lebih nyaman dalam mendiskusikan isu infertilitas, sementara para pemuka agama dapat mencari cara yang lebih empatik dalam menyampaikan ajaran Gereja mengenai IVF tanpa mengabaikan kebutuhan emosional dan medis jemaat. Tentu hal ini tidak hanya terjadi dalam katolik, tapi juga agama lainnya. MDG dalam kesempatan ini menarik mengangkat dari segi katolik karena menemukan sebuah penelitian yang membahas tentang ini. Untuk informasi menarik lainnya sister dan paksu dapat follow Instagram @menujuduaagris.id
Referensi
Nicolas, P. (2021). In vitro fertilization: A pastoral taboo?. Journal of religion and health, 60(3), 1694-1712.
https://mirror.mui.or.id/produk/fatwa/41111/bagaimana-fatwa-mui-tentang-hukum-bayi-tabung/