Artikel Informasi Untuk Pejuang Dua Garis

Infertilitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi sekitar 15% pasangan di seluruh dunia, dan salah satu penyebab utama infertilitas pada perempuan adalah Insufisiensi Ovarium Primer (POI). POI terjadi ketika ovarium berhenti berfungsi sebelum usia 40 tahun, dan ini memengaruhi 1–3,7% wanita. Penyebabnya beragam kelainan genetik, autoimun, pengobatan Medis seperti Terapi radiasi atau kemoterapi,
faktor lingkungan dan infeksi virus.
Salah satu dampak utama dari POI adalah infertilitas permanen, di mana wanita tersebut tidak bisa hamil secara alami. Selain infertilitas, POI juga berhubungan dengan masalah kesehatan serius lainnya, seperti osteoporosis, penyakit jantung, dan bahkan gangguan neurologis. Jika sister dan paksu penasaran apa penyebab dari penyebab ini, sayangnya dalam penelitian pun masih belum jelas penyebabnya. Tapi setidaknya kita dapat berfokus pada solusi apa yang kira-kira ditawarkan! baca lebih lanjut yuk!
Pahami Peran Genetika dalam Diagnosis POI
Bayangkan jika misteri gangguan kesuburan bisa dipecahkan lewat jejak genetik dalam tubuh kita, itulah yang ditemukan para peneliti dalam studi besar melibatkan 375 pasien dan 70 keluarga dengan insufisiensi ovarium primer (POI). Dengan teknologi Whole Exome Sequencing (WES) dan panel genetik, mereka menelusuri mutasi pada gen-gen yang berperan dalam fungsi ovarium. Hasilnya cukup mengejutkan: hampir sepertiga kasus 29,3% akhirnya memperoleh diagnosis yang jelas. Temuan ini memberi harapan baru, bahwa pendekatan genetika tak hanya membantu memahami penyebab POI, tapi juga membuka peluang untuk penanganan yang lebih personal dan tepat sasaran.
Genetika ini tidak hanya memberi kita wawasan baru mengenai penyebab POI, tetapi juga membuka jalan untuk pengobatan yang lebih dipersonalisasi. Misalnya, dengan mengetahui mutasi genetik tertentu, pengobatan bisa disesuaikan untuk meningkatkan peluang kehamilan pada pasien yang mengalami POI.
Genetik POI dan Infertilitas
Dalam studi ini, peneliti mengidentifikasi beberapa gen baru yang terlibat dalam POI yang sebelumnya belum diketahui, serta mengkonfirmasi peran gen lain yang sudah dilaporkan sebelumnya. Salah satu temuan yang menarik adalah bahwa gangguan pada gen perbaikan DNA dan mitosis dapat berhubungan dengan kerentanan terhadap kanker—yang menunjukkan bahwa pasien POI berisiko mengalami komplikasi lebih lanjut di luar masalah kesuburan.
Selain itu, sekitar 35,4% kasus POI berhubungan dengan gangguan pada gen yang berperan dalam pertumbuhan folikel. Hal ini penting dalam konteks pengobatan infertilitas, karena aktivasi folikel in vitro sebuah teknik yang berpotensi untuk membantu pasien POI hamil dapat lebih efektif jika didasarkan pada pemahaman genetik yang lebih dalam.
Proses yang disebutkan diatas adalah salah satu upaya dalam personalisasi kasus, dimana diagnosis genetik ternyata dapat membantu menentukan pasien yang berpotensi berhasil dengan teknik aktivasi folikel in vitro. Dengan mengetahui cadangan ovarium residual melalui pendekatan genetika, dokter dapat merancang terapi yang lebih efektif untuk meningkatkan kesuburan pasien.
Selain itu, pendekatan ini juga memperkenalkan kemungkinan pengobatan yang lebih efektif dengan menargetkan jalur molekuler tertentu yang terlibat dalam POI. Salah satu jalur baru yang ditemukan terkait dengan imunitas dan regulasi gen, yang bisa menjadi target terapi di masa depan.
Jadi pada sister dan paksu yang dihadapkan dengan masalah ini, ingat bahwa infertilitas bukan hanya soal kesulitan hamil, tetapi juga merupakan masalah yang memengaruhi kualitas hidup dan kesehatan jangka panjang. Jika ada kasus yang sedang kalian hadapi apalagi seperti POI maka segera berkonsultasi ke dokter, dan melihat apakah ada solusi yang tepat. Informasi menarik lainnya dapat follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Heddar, A., Ogur, C., Da Costa, S., Braham, I., Billaud-Rist, L., Findikli, N., … & Misrahi, M. (2022). Genetic landscape of a large cohort of Primary Ovarian Insufficiency: New genes and pathways and implications for personalized medicine. EBioMedicine, 84.
- https://www.morulaivf.co.id/id/blog/primary-ovarian-insufficiency/

Pada hari Rabu, 30 April, pukul 19.30, Menuju Dua Garis kembali hadir menyapa sister dan paksu melalui sesi Live Instagram. Acara ini dipandu oleh Mizz Rosie, founder MDG, bersama Dr. Pandian Ram dari Ramfertility.
Sesi kali ini sangat menarik karena menghadirkan kisah inspiratif dari salah satu pasien Dr. Pandian Ram, yang berhasil menjalani IVF setelah 8 kali gagal. Pasien tersebut adalah Sister Iin Edrawati, yang akhirnya berhasil hamil di usia 45 tahun, meskipun memiliki AMH yang sangat rendah. Setelah banyak perjuangan, mereka akhirnya menjalani program bersama Dr. Pandian Ram.
Apa yang membuat proses ini berbeda?
Sister Iin menceritakan bahwa, secara emosional, dia sudah sangat semangat untuk berjuang. Yang membuatnya memutuskan untuk melakukan IVF dengan Dr. Ram adalah respons positif dan kenyamanan yang diberikan oleh dokter, yang membangun rasa percaya dan keyakinan bahwa ini adalah proses yang tepat. Dr. Pandian Ram membrikan anjuran untuk melakukan persiapan selama 6 bulan sebelum melakukan IVF, dengan pendekatan yang meliputi pola hidup sehat, olahraga, suplemen, hingga akupuntur. Hingga akhirnya sister Iin dan pasangan merasa bahwa persiapan mereka sangat matang. Dr. Pandian Ram juga membagi dosis obat hormon secara personal sesuai dengan kondisi sister Iin.
Pada proses live akhirnya dilakukan tanya jawab dengan sister PDG lainnya, pertanyaan yang diajukan beragam yang memperlihatkan bagaimana mereka sangat antusias dengan pertanyaan yang lebih spesifik mengenai pemilihan protokol IVF, seperti apakah menggunakan short atau long protocol. Dr. Ram menjelaskan bahwa ia sudah meninggalkan long protocol dan berfokus pada short protocol. Juga peratnyaan seputar Low AMH dengan FSH dan LH. Menurut Dr. Ram, jika AMH rendah, tetapi FSH dan LH normal, maka program IVF tetap bisa dilanjutkan. Namun, jika LH rendah dan FSH tinggi, ini menandakan menopause, yang berarti program IVF tidak dapat dilakukan.
Meskipun sempat mengalami 8 kali kegagalan, sister Iin meyakini bahwa keberhasilan IVF yang ke-9 ini adalah sebuah mukjizat, setelah berjuang keras bersama suami selama 23 tahun pernikahan. MDG melihat perjuangan yang tiada akhir ini, dan percaya bahwa tidak ada usaha yang sia-sia dalam perjalanan menuju dua garis.
Menuju Dua Garis yakin, bagi sister dan paksu yang sedang berjuang, tidak ada kata menyerah. Akan ada hari yang indah yang bisa kalian rasakan bersama. Ingat, menjaga tubuh dan kesehatan reproduksi sangat berkaitan, dan semuanya demi tubuh yang sehat.
Untuk informasi lebih lanjut dan konten menarik lainnya, jangan lupa follow Instagram kami di @menujuduagaris.id!

Pada beberapa kasus infertilitas, sister dan paksu terkadang juga dihadapkan dengan perjalanan pejuang dua garis dengan memerlukan serangkaian siklus teknologi reproduksi berbantuan (ART) seperti fertilisasi in vitro (IVF). Siklus ART ini bukan hanya kompleks secara teknis, tetapi juga sangat bergantung pada keputusan-keputusan klinis yang bersifat subjektif sering kali ditentukan oleh pengalaman individual dokter dan embriolog. Lalu kira-kira apakah ada solusi lain selain perspektif medis?
Kompleksitas ART dan Ketergantungan pada Pengalaman Klinis
Dalam praktiknya, proses ART melibatkan berbagai tahap kritis, mulai dari pemilihan dan pemberian dosis obat, pemantauan siklus ovulasi, hingga pemilihan gamet dan embrio. Keputusan pada tiap tahap ini biasanya dipengaruhi oleh karakteristik pasien, respons pengobatan sebelumnya, serta pemantauan kondisi pasien secara berkelanjutan. Namun, pengambilan keputusan ini sering kali bersifat subjektif dan tidak seragam, karena sangat bergantung pada pengetahuan serta intuisi tenaga medis yang menangani.
Akibatnya, hasil ART bisa sangat bervariasi antara satu pasien dengan yang lain, bahkan pada kondisi medis yang serupa. Inilah yang kemudian melahirkan istilah bahwa “ART adalah seni” karena keberhasilannya kerap kali tidak bisa diprediksi secara pasti dan tidak selalu dapat direproduksi kembali dengan hasil yang sama. Wah lalu bagaimana bisa ART ini bisa di personalisasi?
Potensi Kecerdasan Buatan dalam ART
Artificial Intelligence (AI) sebagai alat yang digunakan untuk meningkatkan objektivitas dan efisiensi dalam praktik ART. AI memiliki kemampuan luar biasa dalam mengelola, memproses, dan menganalisis data berukuran besar dan kompleks, seperti yang dihasilkan dari jutaan siklus IVF setiap tahun.
Bagaimana AI Bekerja dalam Konteks ART?
Tentu saja AI dalam ART tidak berdiri sendiri sister, karena Ia mencakup berbagai teknologi seperti machine learning (ML), visi komputer, dan robotika. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan adalah machine learning, yang terbagi menjadi beberapa tipe:
- Pembelajaran Terbimbing (Supervised Learning)
Di sini, data diberi label masukan dan keluaran (misalnya: data pasien dan hasil kehamilan), sehingga model dapat “belajar” dari hubungan keduanya dan memprediksi hasil baru di masa depan. - Pembelajaran Tak Terbimbing (Unsupervised Learning)
Cocok untuk memahami pola dalam data yang tidak memiliki label, misalnya untuk mengelompokkan pasien berdasarkan respons biologis yang mirip. - Pembelajaran Penguatan (Reinforcement Learning)
Model dilatih untuk mengambil keputusan dalam suatu “lingkungan” dan mendapatkan reward atas tindakan yang paling efektif misalnya, dalam simulasi skenario ART.
Fakta yang perlu sister dan paksu tahu bahwa AI nggak akan pernah bisa menggantikan peran dokter atau embriolog, ya. Kehadiran AI justru untuk melengkapi dan memperkuat keputusan medis, karena didasarkan pada data yang kuat dan objektif.
Jadi, bukan berarti AI itu menggantikan tenaga medis, tapi melalui sinergi antara pengalaman klinis dan kekuatan pemrosesan AI, masa depan teknologi reproduksi berbantu (ART) diproyeksikan akan menjadi lebih personal, efisien, dan bisa direproduksi. Ini tentu membuka peluang lebih besar bagi pasangan infertil untuk mewujudkan mimpi mereka memiliki buah hati. Informasi menarik lainnya dapat follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Hanassab, S., Abbara, A., Yeung, A. C., Voliotis, M., Tsaneva-Atanasova, K., Kelsey, T. W., … & Dhillo, W. S. The prospect of artificial intelligence to personalize assisted reproductive technology. npj Digit. Med. 7 (1): 2024: 55.

Sister, pernah dengar tentang kegagalan ovarium prematur atau yang biasa disebut Premature Ovarian Failure (POF)? Nah ini adalah kondisi ketika ovarium berhenti berfungsi sebelum usia 40 tahun. Gejalanya biasanya berupa amenore atau tidak menstruasi, hipoestrogenisme atau kadar hormon estrogen yang rendah, dan peningkatan kadar gonadotropin dalam darah. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab umum infertilitas pada wanita muda. POF bukan hanya soal tidak adanya haid, tapi juga sinyal bahwa fungsi reproduksi terganggu lebih awal dari yang seharusnya. Wah kira-kira apa penyebabnya? pahami lebih lanjut yuk!
Penyebab Kegagalan Ovarium Prematur: Bukan Cuma Soal Usia, Sister
Kegagalan ovarium prematur alias POF (Premature Ovarian Failure) itu nggak cuma soal “tua sebelum waktunya”. Banyak faktor yang bisa jadi penyebabnya, dan beberapa di antaranya cukup serius. Yuk kita bahas satu per satu.
Pertama ada kelainan kromosom, contohnya sindrom Turner (45X) atau variannya yang sering disebut “mosaik Turner”. Kondisi ini bisa bikin ovarium nggak berkembang dengan baik sejak awal. Kedua adalah Kerusakan ovarium akibat pengobatan atau operasi seperti kemoterapi, radiasi, atau operasi di sekitar area panggul, ada kemungkinan ovarium kamu ikut terdampak.
Ketiga, ada Premutasi Gen FMR1 – Gen Terkait Sindrom Fragile X Gen ini penting banget karena berperan dalam perkembangan saraf. Kalau ada premutasi (55–200 pengulangan CGG), sekitar 20% wanita bisa mengalami kegagalan ovarium prematur. Premutasi ini sering ditemukan pada kasus POF sporadis (yang nggak diturunkan secara genetik), dan bisa mencapai 13% pada kasus familial. Walau belum jelas gimana mekanismenya, kemungkinan besar ada dua skenario yaitu jumlah sel telur memang lebih sedikit sejak awal, atau sel telurnya habis lebih cepat dari seharusnya.
Keempat adalah penyebab autoimun bagaimana sistem kekebalan tubuh kita bisa “salah target” dan menyerang jaringan sendiri, termasuk ovarium. POF karena autoimun ini juga sering dikaitkan dengan gangguan di organ endokrin lain, seperti tiroid, adrenal, dan paratiroid. Itulah kenapa skrining untuk penyakit autoimun jadi penting kalau ada gejala atau riwayat POF.
Gejala yang Muncul saat POF
- Menstruasi makin jarang atau berhenti sama sekali
- Hot flashes
- Keringat malam
- Vagina jadi lebih kering dan tipis
Bagaimana Penanganannya?
Karena POF biasanya disebabkan oleh hilangnya cadangan sel telur, saat ini belum ada pengobatan yang bisa “balikin” fungsi ovarium seperti semula. Tapi, beberapa hal masih bisa dilakukan:
- Terapi hormon estrogen/progestin bisa membantu melindungi tulang dan mengurangi gejala akibat kekurangan estrogen.
- Donasi sel telur lewat fertilisasi in vitro (IVF) jadi salah satu opsi paling efektif untuk hamil, dengan tingkat keberhasilan sekitar 75% per percobaan.
- Walau langka, beberapa wanita tetap bisa hamil secara spontan, terutama kalau sedang menjalani terapi hormon. Studi menunjukkan sekitar 5–10% wanita dengan POF akhirnya bisa hamil tanpa bantuan dokter kesuburan.
Bahkan temuan oleh Castillo dkk, 2021 menemukan penyebab POF masih banyak yang belum bisa dijelaskan, perkembangan teknologi seperti Whole Exome Sequencing (WES) dan machine learning memberi harapan baru. Lewat pendekatan ini, ilmuwan mulai menemukan pola genetik tersembunyi yang sebelumnya sulit dikenali, termasuk varian langka yang mungkin berperan dalam kegagalan ovarium. Bahkan, kemampuan machine learning mengelompokkan pasien ke dalam subtipe tertentu membuka peluang untuk memahami karakteristik POF secara lebih personal.
Harapannya, langkah-langkah ini bisa menjadi fondasi untuk diagnosis yang lebih tepat, serta pengembangan terapi yang lebih terarah di masa depan. Cara ini tentu lebih personal dengan mengenali pola genetik dari berbagai macam kemungkinan yang ada. Meski demikian perlu pengawasan dokter yang menangani sister dan paksu ya. Informasi menarik lainnya sister dan paksu dapat follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
- Chapman, C., Cree, L., & Shelling, A. N. (2015). The genetics of premature ovarian failure: current perspectives. International journal of women’s health, 799-810.
- Henarejos-Castillo, I., Aleman, A., Martinez-Montoro, B., Gracia-Aznárez, F. J., Sebastian-Leon, P., Romeu, M., … & Diaz-Gimeno, P. (2021). Machine learning-based approach highlights the use of a genomic variant profile for precision medicine in ovarian failure. Journal of Personalized Medicine, 11(7), 609.
- https://www.advancedfertility.com/patient-education/causes-of-infertility/premature-ovarian-failure

Kalau kita bicara soal program bayi tabung atau IVF (In Vitro Fertilization), salah satu langkah penting yang harus dilalui adalah proses pematangan sel telur (oosit). Sister dan paksu yang sedang menjalani program IVF pasti sudah familiar dimana dokter biasanya menggunakan suntikan hormon Human Chorionic Gonadotropin (hCG) untuk membantu sel telur matang sempurna dan siap dibuahi. hCG ini bekerja meniru lonjakan alami hormon LH (Luteinizing Hormone) dalam tubuh, yang normalnya terjadi saat masa subur.
Tapi, seiring berkembangnya ilmu kedokteran, ditemukan bahwa penggunaan hCG saja punya risiko, salah satunya adalah meningkatkan kemungkinan terjadinya OHSS (Ovarian Hyperstimulation Syndrome) dan ternyata kondisi berbahaya akibat ovarium yang terlalu bereaksi terhadap obat.
Wah lalu Langkah Selanjutnya Bagaimana? Baca Sampai Habis Yuk!
Sebagai alternatif, digunakanlah pemicu lain, yaitu agonis GnRH (GnRHa). Ini adalah hormon yang bisa mendorong pelepasan LH dan FSH secara alami dari tubuh, membuat prosesnya lebih mirip dengan mekanisme normal. Namun, penggunaan GnRHa tunggal ternyata punya kekurangan: korpus luteum (bagian ovarium yang penting untuk mempertahankan kehamilan awal) menjadi kurang optimal, sehingga peluang embrio menempel di rahim bisa menurun. Dari situ, muncullah ide baru yaitu melalui Dual Trigger.
Apa itu Dual Trigger?
Dual trigger adalah kombinasi antara suntikan GnRHa dan hCG dalam satu waktu. Tujuannya adalah mengambil manfaat terbaik dari keduanya: menjaga keamanan dengan mengurangi risiko OHSS (berkat efek GnRHa) sekaligus tetap menjaga kondisi rahim dan mendukung keberhasilan implantasi embrio (berkat bantuan hCG).
Bagaimana Cara Kerjanya?
Dalam tubuh normal, menjelang ovulasi, terjadi lonjakan besar hormon LH dan sedikit FSH. Kedua hormon ini berperan mematangkan sel telur dan mempersiapkan tubuh untuk kehamilan. Kalau hanya menggunakan hCG, tubuh tidak mendapatkan lonjakan FSH yang alami itu. Sementara dengan GnRHa, lonjakan FSH bisa terjadi, tapi karena efeknya cepat hilang, korpus luteum kurang stabil.
Dengan dual trigger, tubuh mendapatkan lonjakan LH dan FSH alami dari GnRHa, ditambah dukungan stabil dari hCG untuk mempertahankan kondisi ideal setelah ovulasi. Kombinasi ini membuat peluang keberhasilan IVF meningkat, apalagi untuk pasien yang sebelumnya sulit mendapatkan sel telur matang atau yang respons tubuhnya terhadap pemicu biasa kurang optimal.
Siapa yang Cocok Menggunakan Dual Trigger?
Metode ini terutama disarankan untuk pasien yang sebelumnya mengalami jumlah sel telur matang rendah. Pasien yang respons tubuhnya kurang bagus terhadap pemicu standar.
dan Pasien dengan risiko sedang hingga tinggi untuk mengalami OHSS, namun tetap ingin melakukan transfer embrio segar. Dengan dual trigger, pasien-pasien ini memiliki peluang lebih baik untuk mendapatkan jumlah sel telur matang yang cukup, kualitas embrio yang bagus, dan tentu saja meningkatkan kemungkinan kehamilan.
Teknik dual trigger menjadi salah satu inovasi penting dalam dunia IVF. Dengan memadukan kelebihan dua jenis hormon, metode ini menawarkan pendekatan yang lebih alami dan seimbang, sekaligus membantu mengurangi risiko komplikasi. Jadi, kalau sister dan paksu yang sedang mempertimbangkan program IVF, tidak ada salahnya berdiskusi dengan dokter tentang kemungkinan menggunakan dual trigger sebagai bagian dari strategi menuju kehamilan yang sukses. Untuk informasi menarik lainnya follow Instagram @menujuduagaris.id.
Referensi
- Victoria Antoniou, E. M. J. (2024). Does Dual and/or Double Trigger Improve In Vitro Fertilisation Success?. Reproductive Health.
- https://hellosehat.com/kehamilan/kesuburan/hormon-gnrh/

Endometriosis adalah penyakit ginekologi inflamasi yang sangat bergantung pada hormon, umumnya dialami oleh perempuan usia reproduksi. Penyakit ini secara klinis dan patologis ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium, yang seharusnya hanya ada di dalam rongga rahim, di luar tempat yang seharusnya. Endometrium berfungsi sebagai tempat menempel dan berkembangnya sel telur yang telah dibuahi.
Namun, pada kasus endometriosis, jaringan ini tumbuh di luar rongga rahim, menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Salah satunya adalah mempengaruhi infertilitas, MDG akan membahas lebih lanjut, baca sampai habis ya!
Pengaruhnya Endometriosis pada Kesuburan
Endometriosis dapat mempengaruhi kesuburan dengan beberapa cara, yaitu kelainan anatomi panggul, adhesi, bekas luka saluran tuba, radang struktur panggul, perubahan fungsi sistem kekebalan, perubahan lingkungan hormonal telur, gangguan implantasi kehamilan, dan kualitas telur yang berubah.
Karena dampaknya yang signifikan, baik secara individu maupun publik, penting untuk memahami patogenesis endometriosis dengan lebih baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah paparan bahan kimia.
Ketahui Peran environmental endocrine-disrupting chemicals (EDC) dalam Patogenesis Endometriosis
Salah satu faktor yang berpotensi memengaruhi perkembangan endometriosis adalah paparan bahan kimia pengganggu endokrin. Ia merupakan agen eksogen yang dapat mengganggu berbagai proses hormonal dalam tubuh, mulai dari sintesis, sekresi, hingga pensinyalan hormon yang memengaruhi homeostasis dan proses reproduksi.
Beberapa bahan kimia ini diantaranya adalah poliklorinasi bifenil (PCB), dioksin (TCDD), bisfenol A (BPA), dan ftalat banyak ditemukan dalam berbagai produk sehari-hari. PCB digunakan dalam peralatan listrik dan cairan pendingin, meskipun sudah dilarang, masih ada di lingkungan. Dioksin sering terbentuk dalam proses industri seperti pembakaran sampah dan pengolahan kimia. BPA terdapat pada plastik keras, botol, wadah makanan, dan lapisan kaleng, sementara ftalat digunakan sebagai bahan pengikat dalam plastik, serta ditemukan dalam produk seperti mainan anak-anak, kosmetik, dan kemasan makanan. Bahan kimia ini dapat terakumulasi dalam tubuh dan berdampak negatif pada kesehatan, termasuk memengaruhi patogenesis endometriosis
Bahkan sebuah penelitian yang dilakukan Arosh, 2023 melalui Data epidemiologi dan eksperimen menunjukkan bahwa paparan terhadap EDC ini, baik secara individu atau kolektif, berkontribusi pada patofisiologi endometriosis. Bahan kimia ini mengganggu berbagai jalur pensinyalan intraseluler yang berhubungan dengan proinflamasi, estrogen, progesteron, kelangsungan hidup sel, migrasi, invasi, dan pertumbuhan jaringan endometriosis itu sendiri.
Meski terapi anti-estrogen bisa membantu mengatasi endometriosis, terapi ini hanya efektif dalam jangka waktu terbatas dan sering kali tidak dapat mencegah kekambuhan penyakit. Oleh karena itu, pemahaman lebih dalam tentang mekanisme molekuler yang terjadi pada endometriosis, terutama yang melibatkan EDC, sangat dibutuhkan. Untuk itu sister dapat mulai menciptakan langkah untuk mengurangi paparan terhadap EDC pada perempuan usia reproduksi, agar dapat mencegah atau setidaknya mengurangi dampak buruknya terhadap kesehatan reproduksi.
Referensi
- Dutta, S., Banu, S. K., & Arosh, J. A. (2023). Endocrine disruptors and endometriosis. Reproductive Toxicology, 115, 56-73.
- https://www.halodoc.com/artikel/benarkah-endometriosis-pengaruhi-kesuburan

Sister dan paksu MDG pernah membahas bagaimana hormon yang diberikan saat IVF bisa berpengaruh ke kesehatan mental. Nah, dalam program bayi tabung (IVF/ICSI), perempuan diberikan hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) setiap hari untuk merangsang ovarium supaya menghasilkan lebih banyak sel telur. Targetnya, sekitar 5 sampai 15 oosit (sel telur) dalam satu siklus.
Tapi, tidak semua perempuan merespons obat ini dengan cara yang sama. Respons terlalu rendah bisa bikin jumlah dan kualitas sel telur tidak mencukupi. Sebaliknya, respons terlalu tinggi malah bisa memicu sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS), kondisi yang cukup berisiko. Kedua situasi ini sama-sama bisa menyebabkan siklus IVF dibatalkan, lho.
Cara Menyesuaikan Dosis FSH
Awalnya, dosis FSH diberikan berdasarkan usia saja. Tapi sekarang, pendekatan lebih personal mulai digunakan. Dosis bisa disesuaikan berdasarkan Hormon Anti-Müllerian (AMH), Jumlah Folikel Antral (AFC), Kadar FSH di hari ke-2 atau ke-3 haid (bFSH). Pendekatan ini dikenal sebagai strategi berbasis tes cadangan ovarium atau ovarian reserve test (ORT).
Sebuah tinjauan Cochrane terbaru di tahun 2023 yang mencakup 26 studi dengan lebih dari 8500 wanita membahas tentang ini. Studi-studi ini membandingkan berbagai strategi pemberian dosis FSH, baik yang disesuaikan secara individual maupun yang standar.
Hasilnya bagaimana? bahwa Mengatur dosis FSH berdasarkan tes cadangan ovarium (ORT) mungkin tidak terlalu banyak meningkatkan peluang untuk mendapatkan kehamilan berkelanjutan atau kelahiran hidup dibandingkan dengan dosis standar. Namun, pendekatan berbasis ORT bisa membantu mengurangi risiko terjadinya sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS) yang tingkatnya sedang atau berat. Untuk risiko OHSS berat saja, masih belum ada cukup bukti yang bisa memberikan kesimpulan pasti. Kalau biasanya peluang kehamilan dengan dosis standar ada di angka 25%, pendekatan berbasis ORT bisa sedikit menaikkan peluang itu menjadi 25%–31%. Sedangkan untuk risiko OHSS sedang atau berat, pendekatan ini bisa menurunkan angka kejadian dari 5% menjadi sekitar 2%–5%.
Meskipun menjanjikan, penyesuaian dosis FSH berdasarkan tes cadangan ovarium belum terbukti secara meyakinkan meningkatkan hasil kehamilan. Namun, strategi ini berpotensi menurunkan risiko komplikasi seperti OHSS. Penyesuaian dosis FSH berdasarkan tes cadangan ovarium (ORT) memang menawarkan pendekatan yang lebih personal dalam program IVF/ICSI.
Namun, dari hasil tinjauan studi terbaru, strategi ini belum terbukti secara kuat mampu meningkatkan peluang kehamilan berkelanjutan atau kelahiran hidup dibandingkan dengan pemberian dosis standar. Meskipun begitu, penggunaan ORT tetap punya manfaat, yaitu berpotensi mengurangi risiko terjadinya sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS) sedang hingga berat.
Jadi sister dan paksu melalui penjabaran ini dapat dipahami secara keseluruhan bahwa pendekatan berbasis ORT mungkin lebih berguna untuk meningkatkan keamanan siklus IVF daripada secara langsung meningkatkan peluang kehamilan. Bagaimana menarik bukan? tapi tetap saja sister dan paksu harus berkonsultasi dengan dokter selama menjalankan program IVF. Informasi menarik lainnya follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
Ngwenya, O., Lensen, S. F., Vail, A., Mol, B. W. J., Broekmans, F. J., & Wilkinson, J. (2024). Individualised gonadotropin dose selection using markers of ovarian reserve for women undergoing in vitro fertilisation plus intracytoplasmic sperm injection (IVF/ICSI). Cochrane Database of Systematic Reviews, (1).

Bagi sister dan paksu yang sedang berjuang, tentu kerap kali dihadapkan dengan tantangan. Bahwa pengalaman menghadapi infertilitas bukan hanya persoalan fisik, tapi juga menyentuh sisi emosional yang mendalam. Ketika pilihan pengobatan jatuh pada teknologi reproduksi berbantuan atau Assisted Reproductive Technology (ART), seperti IVF (In Vitro Fertilization), tantangan mental yang dihadapi pun bisa semakin kompleks. Wah kenapa begitu ya? yuk bahas lebih lanjut meski MDG sebelumnya sudah membahas tentang kesehatan mental, pada artikel kali ini akan melihat dari sisi terapi hormon. Baca sampai akhir ya!
Proses IVF dan Terapi Hormonal
IVF sendiri memiliki prosedur yang melibatkan beberapa tahap, mulai dari stimulasi ovarium, induksi ovulasi, pengambilan sel telur (oosit), pembuahan, hingga transfer embrio ke rahim. Setiap tahap memerlukan pemantauan ketat dan pemberian obat-obatan yang kompleks. Terapi hormonal merupakan bagian penting dari tahapan ini, seperti penggunaan klomifen sitrat, hormon FSH rekombinan, LH, hingga protokol GnRH untuk mengontrol siklus reproduksi.
Obat-obatan tersebut bisa diberikan secara oral maupun injeksi, tergantung pada kebutuhan pasien dan keputusan medis yang diambil berdasarkan usia, kondisi kesehatan, dan hasil pemeriksaan. Sayangnya, terapi ini tidak hanya mempengaruhi tubuh, tetapi juga berdampak besar terhadap keseimbangan emosional dan kesehatan mental pasien.
Tekanan Mental yang Kerap Terabaikan
Sister dan paksu harus tahu bahwa beberapa studi menunjukkan pasien IVF mengalami perubahan psikologis yang signifikan selama menjalani perawatan. Proses panjang, ketidakpastian hasil, efek samping obat, serta harapan yang tinggi sering kali menimbulkan stres, kecemasan, hingga depresi.
Tentu fokus utama dunia medis selama ini lebih tertuju pada peningkatan efektivitas pengobatan dan keberhasilan pembuahan. Sementara itu, tekanan mental yang disebabkan oleh terapi hormonal sering kali dianggap sekadar efek samping, bukan sebagai masalah serius yang perlu intervensi tersendiri.
Pentingnya Dukungan Psikologis
Melihat bagaimana hal tersebut, dapat dilihat bahwa pengalaman emosional selama menjalani IVF bisa memengaruhi keputusan pasien untuk melanjutkan atau menghentikan pengobatan. Dalam banyak kasus, pasangan menghentikan program karena tidak sanggup menanggung beban mentalnya, bukan karena kendala medis. Beberapa rumah sakit juga akhirnya berupaya untuk aware dengan ini hingga menyediakan layanan psikologis.
Karena faktanya IVF bukan sekadar prosedur medis, ia adalah perjalanan penuh harapan, perjuangan, dan tantangan emosional. Terapi hormonal yang menyertai proses ini perlu dipahami tidak hanya dari sisi farmakologis, tetapi juga dari sisi dampaknya terhadap kesejahteraan psikologis pasien. Karena pada akhirnya, keberhasilan menjadi orang tua bukan hanya tentang membawa bayi pulang ke rumah, tetapi juga memastikan orang tua tersebut tetap sehat baik secara fisik maupun emosional. Untuk informasi menarik lainnya sister dan paksu dapat follow Instagram @menujuduagaris.id
Referensi
Vasudevan, S. R., & Bhuvaneswari, M. (2024). The Psychological Effects of Hormonal Treatment on Women Under IVF Treatment: A Comprehensive Review. National Journal of Community Medicine, 15(06), 487-495.